Label

Senin, 15 September 2008

INDONESIA TODAY, NEGARA KAUM HYENA

Indonesia, negaraku, milikku. Kok semakin ancur ya? Kalau ada bencana atau kecelakaan korbannya gak pernah tanggung-tanggung. Hari ini, tanggal 15 September 2008, ada pembagian zakat di Pasuruan, korbannya? 21 atau 22 orang ibu-ibu meninggal. Kasihan rakyat kita. Cuma buat dapat uang 30 ribu rupiah saja harus terinjak-injak sampai pingsan, bahkan mengorbankan nyawa. Salah siapa? Apa salah sang pembagi zakat, seorang ibu pengusaha sarang waletkah? Ah, rasanya bukan. Akunya sudah sejak tahun 1975 dia melakukan hal yang sama dan tidak menjadi masalah. Jadi salah siapa?

Beberapa hari yang lalu ada 16 jiwa melayang gara-gara minuman keras murahan di perkampungan Indramayu. Bayangkan apa kata tetangganya, bulan puasa meninggal gara-gara mabuk-mabukan. Bayangkan juga bagaimana malunya kerabat korban. Belum lagi kemarin 6 jiwa-jiwa muda melayang juga gara-gara takut ditangkap polisi saat bertengkar dengan kelompok tetangga kampungnya sehingga mereka nekad terjun ke danau. Padahal mereka tidak bisa berenang. Salah siapa lagi?

Beberapa minggu yang lalu kaum penguasa ribut mengenai kontrak kerja pengelolaan Gas Bumi yang dijual ke negara Cina dengan harga terlalu murah. Pak Presiden dan Pak Wapres sibuk berkeluh kesah ke media massa karena masalah itu merupakan warisan masalah dari Bu Presiden sebelumnya. Pikirku, keluh kesah itu hak monopoli rakyat, tuan.... Pemerintah tidak punya hak mengeluh. Kalian hanya punya kewajiban menyelesaikan masalah. Siapapun yang membuatnya. Kalau ingin mengeluh jadilah rakyat. Gaji kalian sudah puluhan juta rupiah per bulan, belum lagi komisi dari sana sini. Dengan pendapatan seperti itu kami tidak ingin mendengar keluh kesah kalian. Tidak ada kata tidak mampu, harus mampu. Kalau merasa berat, cepat mundur. Siapa tahu orang lain, bahkan aku, punya pemecahan masalah itu. Jangan hal-hal serius seperti itu dijadikan alat dan senjata menjelang kampanye saja.

Lucunya, beberapa hari kemudian giliran Tuan Presiden yang terpukul oleh senjatanya sendiri. Begini, ceritanya Pak Presiden ingin punya alat kampanye yang keren. Dipilihlah seorang pembantu yang qualified, versi dia, untuk membuat dan mengembangkan penemuan-penemuan hebat. Ah, semua juga pasti sudah tahu masalah Blue Energy dan Padi Supertoy. Hihi..., kok bisa ya kejadian seperti itu ada di lingkungan Istana. Rasanya cuma menampakkan betapa sebenarnya pemimpin-pemimpin negeri ini adalah orang-orang yang tidak qualified. Lha masalah seperti itu saja bisa tertipu oleh orang-orang kampung apalagi oleh gerombolan maling yang lebih terstruktur seperti Pertamina?

Pertamina, kalau ada yang belum tahu, adalah Badan Usaha Milik Negara yang bertugas mengelola Minyak Bumi dan Gas di tanah air kita untuk kepentingan bangsa dan negara. Hal itu ada tercantum di UUD 1945, gak tau pasal berapa sekarang, habis rubah-rubah terus sih karena amandemen. Logikanya kalau banya gas kan bisa dipakai buat rakyat dulu, kalau ada sisa baru dijual. Itu juga kalau perlu. Kenyataannya gas dan minyak dijual dengan harga murah ke orang asing, sampai-sampai rakyat harus berkeliling siang malam mencari gas. Padahal kita punya banyak gas, minyak, batu bara, emas dan lain-lain. Sekarang? Minyak tanah lebih mahal dari harga Pertamax yang sama-sama non-subsidi.... Pertamina memang isinya orang-orang edan. Yang penting buat mereka cuma komisi penjualan. Dasar mental calo.

Apa solusi Pemerintah? Tangkap saja pengolah daging sampah, bahkan mungkin si ibu pemberi zakat bisa-bisa juga ditangkap karena mengganggu ketertiban umum. Kenapa bukan orang-orang kaya dan boros yang membuang daging tak termakan yang ditangkap? Kenapa bukan Pak Menteri yang ngeles terus dari kewajiban mengganti rugi korban lumpur di Sidoarjo? Kenapa bukan orang-orang Pertamina yang kaya-kaya karena sukses mencuri harta bangsa dan negara? Beda masalah memang dengan Supertoy, karena menyangkut kampanye Presiden maka rakyat yang jadi korban harus cepat-cepat diberi ganti rugi. Nanti dipakai alat pukul oleh lawan-lawan politiknya dong, kalah dan jadi rakyat biasa. Pemimpin-pemimpin kita kan takut sekali jadi rakyat biasa, karena tahu jadi rakyat itu mengerikan.

Jadi sekali lagi apa masalahnya sampai rakyat bisa bertarung nyawa seperti tanggal 10 November 1945 hanya untuk uang 30 ribu. Atau kaum pemulung yang terpaksa mengolah daging sampah untuk bisa memenuhi kebutuhan orang-orang miskin lainnya untuk makan daging seperti kaum yang lebih mampu. Masalah kita adalah masalah kemiskinan. Tahun-tahun sebelumnya belum terjadi kemiskinan yang begini dahsyat. Sekarang? Beli gas masak harus sedia 15 ribu perak buat satu tabung. Kalau minyak tanah 12 ribu seliter. Belum beri beras yang 5 ribu perak per kilo, daging yang 60 ribu per kilo. Di manado cabe merah saja 85 ribu sekilo. Sementara penghasilan bukannya bertambah malah berkurang. Maklum uang negara habis tersedot para pegawai negeri, direktur-direktur BUMN, anggota-anggota Dewan yang terhormat serta dana agar Presiden, Wapres, Menteri, Gubernur dan Walikota bisa bermewah rupa.

Kesimpulanku secara dangkal dan sederhana, Pak Pemimpin kita yang sekarang telah sukses memiskinkan rakyat secara drastis. Tapi kalau hal itu diungkit-ungkit oleh pensiunan jenderal yang satu lagi dia jadi tersinggung dan tidak mau terima. Walaupun yang mengkritik juga kemungkinan besar sama saja, sarua wae, sami mawon. Sama-sama cari komisi saat memerintah.

Ah negara kita memang negara kaum calo. Negara para Hyena. Mereka makan daging bangkai rakyatnya sendiri....