Label

Senin, 17 Oktober 2011

Salus Aegroti Suprema Lex Est, Tat Tvam Asi dan Kepedulian

Kemarin malam saya mendatangi "warung" di dekat rumah untuk sekedar berbelanja sedikit keperluan. Warung itu bernama Indomaret, salah satu toko serba ada kecil yang sekarang tengah ramai dibicarakan karena dianggap mematikan usaha-usaha kecil rumahan. Sebenarnya untuk mendukung ekonomi kecil seharusnya saya mendatangi warung tradisional yang jaraknya lebih dekat dengan rumah. Tetapi apa daya, barang yang saya butuhkan sudah pasti tidak tersedia di tempat tersebut, jadi dengan keteguhan hati saya melangkah menuju warung "Indomaret".

Sebetulnya bukan pro dan kontra tentang Indomaret yang akan saya ceritakan, hal tersebut di atas hanyalah cerita awal. Sekedar untuk mengisi ruang kosong di awal cerita. Cerita lebih lanjut adalah seusai saya menggunakan hak sebagai pembelanja, tentu saja saya juga harus menunaikan tugas sebagai pembeli yaitu membayar ke kasir. Malam itu pembeli agak ramai, mungkin karena hari Minggu malam, he, apa hubungannya?

Di antrian terdepan ada satu keluarga yang berbelanja agak banyak, yang jelas lebih dari tigaratus ribu rupiah yang mereka keluarkan untuk hasil belanjaannya. Kasir tentu saja menghabiskan waktu yang agak lama untuk menghitung-hitung belanjaan mereka. Lalu tepat di depan saya ada dua orang remaja perempuan, lengkap dengan Handphone mereka yang agak "jadul", sibuk menekan-nekan tombol keyboard sambil sesekali melirik kanan kiri. Sebagai seorang Oom-Oom otomatis saya memperhatikan perilaku mereka, maklum, si mbak Kasir lama sekali dalam menunaikan tugasnya.

Hingga pada suatu momen salah seorang dari gadis itu, tampaknya yang akan berbelanja, karena ia yang memegang belanjaan dan yang satu lagi hanya mengantar, tanpa sengaja menyenggol meja tempat memajang barang di depan kasir. Bagi yang pernah berbelanja ke toko swalayan kecil tersebut tentu paham bahwa di depan kasir selalu tertata barang-barang kecil untuk menarik perhatian pembeli. Dan karena senggolan itu terjatuhlah satu batang coklat "Beng-Beng". Kejadian tersebut hanyalah peristiwa biasa, tidak menjadi kehebohan di dalam toko.

Satu bungkus "Beng-Beng" terjatuh apa anehnya. Untuk saya yang mempunyai anak kecil, menjatuhkan barang di dalam toko adalah suatu hal yang sering terjadi. Yang menjadi perhatian saya adalah sikap sang remaja yang terlibat peristiwa itu. Gadis yang menjatuhkan berpura-pura tidak tahu bahwa ia menjatuhkan barang, sedang temannya sekali-kali melirik ke arah sang "Beng-Beng" tanpa berusaha untuk mengembalikannya ke tempat pajangan. Bukan sesuatu yang sulit. Sampai akhirnya mereka membayar dan meninggalkan toko.

Saya bukan berniat sok baik terhadap "Indomaret" karena toh saya tidak akan menerima "reward" berupa diskon ataupun penghargaan sebagai pelanggan yang berdedikasi, tetapi cuma "getek" untuk kemudian mengambil "Beng-Beng" tersebut dan mengembalikannya ke rak pajangan. Dengan hal itu juga saya tidak merasa menjadi lebih suci dan berhak masuk surga karena satu hal kecil tersebut. Tidak, hanya saja rasa "getek" itu membuat saya berpikir banyak, bahkan sampai saat ini sampai akhirnya tergoda untuk menulis "note" ini.

Suatu peristiwa yang sebenarnya sekilas tidak penting, tapi saya tidak bisa menghilangkan perasaan bahwa sikap yang mereka tunjukkan adalah tidak benar. Tapi dari sudut mana mereka bersalah? Undang-Undang? Peraturan Pemerintah? Peraturan Daerah? UU-ITE? Ayat-ayat dalam Kitab Suci? Etika Pembeli? Rasanya tidak ada. Jadi mereka sulit diperkarakan oleh Jampidsus atau Ketua KPK sekalipun. Tapi tetap saja terasa ada yang salah buat saya.

Kemudian saya teringat satu kalimat yang tertulis di Rumah Sakit Darmo, Surabaya. Yang kemudian dijadikan judul lagu oleh seorang seniman "ngaco" asal kota itu. "Salus Aegroti Suprema Lex Ext". Bertahun-tahun saya mencoba mengetahui arti kalimat itu, sampai salah seorang kenalan baru, mas Bambang Aroengbinang, menerangkan artinya yaitu "The Wellness of the Patient is the Most Important Law", eh bener ya nulisnya gitu mas? Satu kalimat yang menggambarkan bahwa sangat penting adanya perhatian untuk orang lain, bahkan hal itu adalah "The Most Important Law" bagi dokter dan perawat. Tentunya saat tulisan itu ditulis oleh tangan-tangan dokter dan perawat "jaman baheula". Entah apakah "law" itu masih terasa oleh pasien jaman sekarang.

Lagi, pikiran saya mengembara ke satu buku dari Eyang Proklamator kita, dimana ia bercerita kepada anaknya tentang satu kalimat dari India, yaitu "Tat Tvam Asi", aku adalah kamu dan kamu adalah aku. Seperti halnya kalimat "Salus Aegroti Suprema Lex Est" maka "Tat Tvam Asi" juga merupakan pelajaran untuk tidak menganggap orang lain tidak penting, karena dia adalah aku juga. Sehingga dalam bertindak sehari-hari kita akan selalu bertenggang rasa dan menjaga etika, yang rasanya tidak pernah dipelajari oleh lembaga pendidikan formal manapun, kecuali kursus-kursus kepribadian yang mahal itu mungkin.

Pada dasarnya penduduk bumi ini terdiri dari miliaran individu. Miliaran individu yang pada akhirnya dituntut untuk saling memperhatikan satu sama lain, karena saat tidak ada rasa kepedulian itu maka lingkungan kita akan bertambah buruk dan buruk lagi. Kejadian di atas hanyalah kisah tentang satu bungkus "Beng-Beng". Tetapi apa lagi yang tidak mereka pedulikan, andaikan satu hal yang remeh dan tidak membutuhkan banyak tenaga saja tidak mereka lakukan. Bagaimana pemahaman mereka tentang "Jangan membuang sampah ke sungai", "Jangan menyeberang sembarangan", "Jangan meludah", "Bayarlah dengan uang pas", "Jangan menghentikan Angkot di tikungan" dan aturan ataupun etika lain, yang mungkin tidak tertulis tetapi "harusnya" dapat dirasakan.

Hal ini adalah hal sepele yang sering kita temukan sehari-hari, tidak terlalu penting. Lalu menjadi "sesuatu banget" untuk saya karena hampir-hampir saya tidak bisa tidur membayangkan ekspresi dan raut wajah remaja-remaja putri itu. Tetapi "Tat Tvam Asi", andaikan saya adalah mereka maka apa yang akan saya lakukan? Ah, pasti akan saya ambil "Beng-Beng" itu dan mengembalikan ke tempatnya. Sulit untuk tidak melakukan hal itu. Ditambah lagi, saya akan mandi sedikit lebih bersih agar tubuh saya tidak berbau "hapeuk" seperti mereka. Hehe..., yang terakhir ini jangan terlalu dianggap serius ah.

Minggu, 07 Agustus 2011

Usulan Pemecahan Masalah Lalu Lintas di Kota Bandung

Sebetulnya akan sulit memecahkan masalah kesemrawutan lalu lintas di suatu kota tanpa penerapan zonasi secara ketat. Dimana peraturan harus ditegakkan, misalkan suatu wilayah yang sudah ditentukan untuk perumahan, tidak dimungkinkan untuk dibangun suatu tempat usaha seperti Mall atau perkantoran. Tetapi memandang situasi yang sudah berkembang di Kota Kembang ini maka masalah zonasi yang ketat sudah tidak memungkinkan untuk diberlakukan.

Jadi langsung ke masalah awal, yaitu lalu lintas, usaha yang pertama kali harus dilakukan adalah mengembalikan ruang lintasan kendaraan kembali kepada fungsinya dan mengurangi hambatan samping jalan. Berikut usulan perbaikan kondisi lalu lintas berdasarkan urutan skala prioritasnya :

• Perbaikan dan pembuatan drainase yang lebih memadai. Melimpahnya air limpasan permukaan ke jalan selama ini membuat hambatan lalu lintas dan juga mengurangi masa pakai aspal jalan. Selain itu genangan dan arus air selama terjadinya hujan juga dapat mengurangi kenyamanan bahkan membahayakan jiwa para pejalan kaki.

• Pembuatan jalur pejalan kaki (trotoar) yang baik dan nyaman. Jadi masyarakat yang akan berpindah tempat dalam jarak yang tidak terlalu jauh akan memilih berjalan kaki dibanding menggunakan kendaraan, baik kendaraan pribadi ataupun kendaraan umum, sehingga jumlah kendaraan di jalan dapat sedikit ditekan.

• Menjaga jalur pejalan kaki dari penyalahgunaan fungsi seperti penanaman pohon pelindung (atau pot tanaman dengan alasan penghijauan) di tengah-tengah jalur trotoar, penggunaan oleh pedagang pinggir jalan dan juga penggunaan sebagai tempat parkir kendaraan.

• Pembangunan gedung-gedung parkir oleh Pemerintah Kota. Selain mengurangi parkir di badan jalan maka gedung parkir ini juga lebih transparan dalam perhitungan pemasukkannya ke kas Pemkot. Biaya pembebasan lahan dan pembangunan gedung akan lebih murah dibandingkan pembangunan sarana transportasi massal modern seperti monorail.

• Pengaturan ulang jumlah dan jalur Angkutan Kota sehingga tidak menempuh jarak yang terlalu jauh. Selama ini banyak jalur angkutan kota yang bersinggungan dalam jarak yang cukup jauh, misalkan Jl. PHH Mustopha antara Jl. Pahlawan sampai Terminal Cicaheum. Dalam jarak sekian kilometer terdapat banyak jalur Angkutan Kota yang melintas secara bersamaan. Dampaknya harus disediakan sub-sub terminal yang merupakan penanda ujung dan akhir trayek.

• Untuk jarak tempuh yang jauh disediakan moda Angkutan Massal. Agar tidak bentrok kepentingan dengan angkutan jarak dekat maka harus diperhatikan agar moda Angkutan Massal ini tidak mudah dihentikan di sembarang tempat.

Memang untuk perbaikan kondisi perlalu-lintasan Kota Bandung diperlukan kemauan dan kerja keras dari seluruh Stake Holder kota. Tetapi jika hal inipun dari awal dianggap berat sehingga tidak memungkinkan untuk dikerjakan, maka rasanya tidak akan mungkin ada perubahan positif dalam masalah lalu lintas Kota Bandung.

Jumat, 05 Agustus 2011

Lalu Lintas Bandung, Lalu Lintas Neraka

Kota Bandung mempunyai jumlah penduduk yang besar dalam luasan wilayah yang kecil. Kota ini pada akhir pekan dan liburan sekolah banyak didatangi wisatawan, khususnya wisatawan lokal. Tetapi selain daya tarik wisata, Bandung juga terkenal dengan kepadatan lalu lintasnya. Jalan-jalan yang sempit dan melingkar-lingkar, pedagang kaki lima dan Mall bercampur baur dengan merdeka.

Ada beberapa hal yang dapat diidentifikasi sebagai akar permasalahan di atas, antara lain :

Perencanaan awal kota yang tidak memungkinkan untuk adanya pelebaran jalan secara ekstrim. Jika dipaksakan ada pelebaran maka kemungkinan akan terjadi penyatuan dua ruas jalan. Sebab pada beberapa wilayah jarak antara dua ruas jalan seringkali sangat dekat, seperti jalur utama Jl. Asia Afrika yang diapit oleh Jl. ABC dan Jl. Dalem Kaum – Jl. Cibadak. Maka pelebaran Jl. Asia Afrika secara ekstrim akan membuatnya bersatu dengan Jl. ABC dan atau Jl. Dalem Kaum.

• Pembagian zona kegiatan yang tidak terencana, pencampuran antara pemukiman (zona bangkitan) dan ekonomi (zona tarikan). Ini akibat kemerdekaan membangun tempat usaha apapun di wilayah manapun di kota ini sangat didukung oleh pihak Pemerintah Kota. Daerah Dago yang dahulu merupakan pemukiman kini menjadi daerah perdagangan, sedang di daerah Cicadas yang dulu daerah perdagangan justru dibangun apartemen yang fungsinya adalah tempat bermukim.

• Ketersediaan sarana pendukung lalu lintas yang buruk, seperti lahan parkir yang sedikit, trotoar untuk pejalan kaki yang nyaris tidak ada, saluran drainase yang juga nyaris punah juga menambah persoalan di saat hujan turun. Hal yang tampak jelas di Jl. Cihampelas, dimana terjadi perebutan fungsi lahan antara tanaman pelindung, pejalan kaki, jalur sepeda motor, tempat parkir mobil, tempat berdagang PKL dan jika hujan perebutan fungsi ditambah lagi oleh selokan air.

• Berlimpahnya daya tarik kota Bandung, mulai dari hawa yang relatif lebih bersahabat, tempat pendidikan, tempat usaha sampai tempat wisata. Maka dapat dibayangkan lalu lintas Jl. Ganesya di hari Sabtu, kendaraan mahasiswa ITB yang hendak kuliah bercampur dengan kendaraan wisatawan yang mencari parkir untuk menunggang kuda di Taman Ganesya. Sementara lahan parkir dan trotoar sudah terlebih dahulu dikuasai oleh pedagang VCD dan penjual makanan, belum lagi bila di Mesjid Salman ada kegiatan.

• Sebagai pelengkap dari menu 4 semrawut 5 sempurna adalah daya nalar pihak Pengelola Kota Bandung yang dari tahun ke tahun tidak mengalami peningkatan bahkan semakin memburuk. Pemerintah Kota tidak banyak memperhatikan hal selain meningkatnya pemasukan dari usaha-usaha yang dijalankan masyarakatnya. Jadi selama itu berdampak positif terhadap pendapatan maka sangat besar kemungkinannya usaha “apapun” disetujui keberadaannya.


Nah, secara garis besar hal-hal tersebut di ataslah yang merupakan penyumbang terbesar terjadinya Lalu Lintas Neraka di Kota Bandung. Jadi, anda ingin menyumbang? Kalau berminat, kami nanti kehadiran anda di akses keluar Tol Pasteur pada hari Sabtu sore. Sampai jumpa...

Selasa, 02 Agustus 2011

Bubarkan KPK, Pak Marzuki?

Minggu ini sekali lagi media membuat keributan di wilayah Indonesia. Ketua DPR Marzuki Alie diberitakan melontarkan kalimat "KPK lebih baik dibubarkan". Entah kalimatnya dipotong-potong atau memang niatnya seperti itu, saya kurang periksa. Yang jelas publik peminat gosip-gosip pemerintahan menjadi terpicu libidonya untuk berkomentar, termasuk saya tentunya.

Hanya saja saya mencoba untuk melihat dari sisi lain, seperti biasa. Sejak awal kiprahnya, KPK sebagai sebuah lembaga Super Body, buat saya adalah sebuah gangguan dalam kondisi negara yang normal. Kenapa menjadi gangguan? ya, karena mahluk KPK ini adalah sebuah lembaga anomali. Pertanda negara ini sedang kehilangan orientasi kenegaraan. Hampir seluruh rakyat kehilangan pemahaman tentang tupoksi lembaga-lembaga negara.

Sekitar 350 tahun yang lalu, Montesquieu (Perancis, 1689-1755), setelah melalui pengamatan sejarah yang panjang berhasil menelurkan teori Trias Politica yang bercerita tentang sebuah pemisahan kekuasaan. Mengapa kekuasaan perlu dipisahkan? Sebab kekuasaan tunggal adalah cenderung absolut dan juga cenderung korup absolut. Dan korbannya tentu saja, seperti umumnya adalah rakyat biasa seperti saya ini, yang bisanya cuma berusaha mencari celah kehidupan di sela-sela kaki kekuasaan.

Eksekutif adalah pemegang jalannya pemerintahan, dipimpin oleh seorang Presiden (Presidensil) ataupun Perdana Menteri (Parlementer). Kelompok inilah yang mempunyai hak dan kewajiban menjalankan birokrasi negara sehari-hari termasuk pengelolaan anggaran negara. Jelas hak dan kekuasaan yang besar ini memiliki kecenderungan untuk menyimpang bila dibiarkan tanpa pengawasan. Dan siapakah yang bisa mengawasi?

Legislatif adalah kumpulan manusia yang didudukkan sebagai wakil dari rakyat. Dan mengapa rakyat harus punya wakil? Oh tentu saja dwooonk. Rakyat harus punya wakil, sebab tidaklah mungkin manusia yang jumlahnya bisa ratusan juta bahkan milyaran ini semua menjadi legislator. Sedangkan kalau keinginan rakyat tidak diakomodir, wah, bisa bahaya situasi negara. Akan hancur berkeping-keping, menjadi kota-kota atau desa-desa merdeka. Dan akhirnya secara alamiah akan sedikit-sedikit bergabung kembali. Dan masalahpun berulang kembali.

Lalu bagaimanakah cara mengorganisir rakyat agar mereka bisa merasa memiliki wakil di Legislatif? Sistem demokrasi menyediakan saluran agar rakyat bisa memilih wakilnya melalui suatu kelompok "terdaftar" yang bernama Partai Politik (Parpol) yang dipilih melalui sebuah acara pemilihan umum. Naasnya saat ini, terutama di Indonesia, Parpol mulai kehilangan legitimasi di mata rakyat. Hal ini berhubungan dengan wewenang Legislatif untuk bekerja-sama dengan Eksekutif untuk bersama-sama membentuk pemerintahan.

Karena serempetan kepentingan itu, maka seringkali seorang Presiden atau Perdana Menteri secara diam-diam atau terang-terangan mengatur posisi dan cara bersuara Parpol di Legislatif. Usaha itu tentu saja dilakukan untuk mendapatkan tempat duduk yang lebih nyaman bagi Pimpinan Eksekutif. Dengan imbalan kenyamanan yang sama untuk sang Legislator tentunya. Dan pada saat yang bersamaan kepentingan rakyat dengan sendirinya tergusur dari pandangan wakilnya sendiri. Nah, hal di atas menjadi sebuah dilema untuk kegiatan bernegara yang berjalan dalam jalur Trias Politica-nya Montesquieu.

Lembaga penting terakhir dalam teori Trias Politica adalah Yudikatif. Fungsi utamanya adalah menjalankan pelaksanaan hukum dalam kehidupan sehari-hari negara. Hukum yang membatasi rakyat dan juga hukum yang
membatasi pemerintah. Ingat dalam semboyan kita adalah "Semua orang berkedudukan sama di muka hukum".

Sayang disayang, sang Yudikator ini mulai mengalami nasib yang sama dengan Legislator, yaitu kehilangan kepercayaan dari mata rakyat Indonesia. Banyaknya kasus hukum yang menyangkut kekuasaan dan uang menyebabkan hukum di Indonesia bersifat "Tajam ke bawah dan tumpul ke atas". Mahluk-mahluk yang bersemayam dalam lingkaran Yudikatif, yaitu Kehakiman dan Kejaksaan, kini tidak lagi dipercaya untuk menangani kasus-kasus tertentu yang bersifat "besar dan menarik perhatian publik".

Untuk mengatasi hal itu, beberapa waktu yang lalu ketiga lembaga tinggi ini membentuk sebuah bangunan baru yang diharapkan "Sakti" dan "Bebas dari kepentingan" selain kepentingan rakyat. Mahluk baru ini kemudian diberi nama Komisi Pemberantasan Korupsi. Sebagai beban, KPK diharapkan dapat menumpas benalu penjarahan dari dalam tubuh pemerintahan, termasuk dalam ketiga lembaga tinggi tadi.

Malangnya kewenangan (khususnya penyidikan dan penyelidikan) lebih KPK ini sedikit banyak tumpang tindih dengan wilayah kerja lembaga lain yang lebih umum ada dan lebih dulu ada, yaitu Kepolisian dan Kejaksaan. karenanya, yang harusnya sudah dapat diprediksi, sebelum dapat maju maka KPK sudah terlebih dahulu berebut lahan dengan Kepolisian dan Kejaksaan. Inilah akibat hobi kita membuat rumah baru di atas rumah yang masih tegak berdiri. Tumpang tindih tanpa orientasi yang jelas.

Akhirnya sekarang mulai down to earth kembali. KPK toh diisi oleh manusia-manusia Indonesia, yang juga memiliki kelemahan dan ketakutan yang sama seperti rekan-rekannya di Kepolisian dan Kejaksaan. Alangkah saktinya kekuatan uang. Mungkin sebagian besar dari kita kalau mati dan ditanyakan oleh Malaikat "Man Robbuka...?" maka jawaban umumnya tegas adalah "Uang!!!".

Kembali sayang disayang, KPK ini sudah terbentuk, dan kita memiliki kelemahan yang sama juga yaitu malu mengakui kesalahan. Oleh karena itu walaupun statement Marzuki Alie menurut saya sudah benar, menjadi sebuah kentut berbau busuk di muka umum. Mungkin karena ide ini, secara jorok dikeluarkan saat anggota partainya sendiri (Demokrat) berurusan dengan hukum. Andaikan usulan ini dikeluarkan saat anggota partai lain (seperti PPP, Golkar, PAN ataupun PDIP) sedang berurusan dengan hukum mungkin esensinya akan lebih tersampaikan dengan elegan.

Jadi kesimpulan saya, anda hanya salah waktu dalam mengungkapkan hal ini Pak Marzuki....

Sabtu, 23 Juli 2011

bumi sudah tua (3)

Tidak hanya individu, antar negarapun demikian. Negara besar kita yang tercinta, Indonesia, saat ini juga sedang menjadi The Big Looser. Tekanan dari negara lain semakin terasa dalam kehidupan sehari-hari masyarakat. Bahkan seorang pemimpin negara Indonesia, dan juga beberapa negara kalah lainnya, harus melalui persetujuan (tanpa bukti nyata tentunya) sebuah atau sekelompok negara adidaya. Contohnya adalah pemimpin kita sekarang, seorang Jenderal bintang tiga, seorang ahli di bidang sosial politik, konon pula seorang ilmuwan pula dengan disandangnya gelar S3 (doktor) di bidang pertanian, nyata-nyata tidak berdaya dalam persaingan militer perbatasan dengan negara tetangga, tidak berdaya untuk memperjuangkan hak-hak warganya yang disiksa di luar negeri, segala hal yang menyangkut harga diri bangsa sirna, hilang. Sebuah ketidak-berdayaan atau memang tidak ada dalam pikiran sang pemimpin? Hanya Tuhan, sang pemimpin dan istrinya sendiri yang tahu.

Sulit dibayangkan bahwa negara besar kita, pemilik garis pantai terpanjang di dunia, harus menjadi negara pengimpor garam di bawah pimpinan beliau. Negara subur yang memiliki gunung berapi terbanyak (banyaknya gunung berapi jelas mengakibatkan banyaknya tanah subur di kakinya) harus mengimpor beras dan kedelai yang merupakan makanan pokok kita sejak jaman Atlantis sampai sekarang. Sebuah negara yang katanya agraris harus mengimpor cabai karena tidak mampu memenuhi kebutuhan akan sambal bagi lidah rakyatnya. Negara yang berlumpur ini sekarang bahkan harus mengimpor ikan lele. Dan dari manakah semua itu kita impor? Kebanyakan dari negara yang lebih kecil ataupun dari negara yang kurang subur dibandingkan Indonesia tercinta ini. Negara yang tenaga kerjanya lebih sedikit dibandingkan jumlah rakyat kita.

Dan inilah hasil karya sang Doktor Pertanian yang kini memimpin negara kita. Petani sepertinya dilarang untung besar, jika harga naik maka pemerintah buru-buru mengeluarkan kebijakan impor bahkan untuk hal yang tidak menyangkut kebutuhan utama seperti kasus cabai rawit dan cabai merah. Padahal tidak akan ada rakyat yang mati karena tidak makan cabai. Intinya, jangan sampai rakyat Indonesia tertarik untuk memproduksi, baik komoditas pertanian atau produk apapun. Cukup menjadi pembeli saja. Kalau tak ada uang untuk membeli maka tukarlah dengan tanah yang kalian miliki, kalau bisa tanah yang mengandung tembaga, emas atau mineral-mineral lain.

Dunia sudah beranjak tua, penduduk sudah semakin banyak, kemajuan teknologi informasi semakin pesat, membuat dunia yang sudah sempit menjadi semakin sempit. Dahulu orang yang kalah akan terpinggirkan dan akan mengais kesempatan di tempat lain. Tetapi sekarang? Di tempat barupun persaingan sudah ketat. Hadirnya seorang pendatang baru di tempat yang baru akan disambut dengan kewaspadaan penghuni lama, karena itu berarti juga merebut kesempatan bersaing untuk pribumi. Jadi nowhere to run, tidak ada tempat yang cukup luang bagi masing-masing kita. Semua tempat sudah penuh. Terjepit di satu tempat akan terjepit pula di tempat lain, hanya satu dua individu yang beruntung dapat lolos, sementara jutaan lain semakin terpuruk.

Apa yang harus kaum tersisih ini lakukan? Mungkin mereka, atau kita, hanya dapat berharap dari satu keajaiban. Atau berkumpul membentuk satu kelompok yang memiliki kesamaan nasib, dengan alasan kesamaan ketertarikan (atau hobby), lalu muncul ke permukaan. Dan untuk dapat dikenal, masing-masing kelompok juga harus bersaing. Persaingan antar kelompok ini terkadang tidak berjalan secara sportif dan legal. Kelompok-kelompok ini dipimpin oleh Warlord-warlord yang dengan tegas mengibarkan bendera permusuhan dengan kelompok saingannya. Lahan untuk bersaingpun bukan sekedar tim sepakbola, dapat saja berupa kelompok supporternya, kelompok bermotor, kelompok penggemar musik, kelompok keagamaan, kelompok politik, kelompok kedaerahan dan lain sebagainya. Intinya, pesaing adalah pihak atau kelompok lain yang harus ditundukkan kalau perlu dimusnahkan. Menyerang atau diserang.

Bumi sudah semakin tua, manusia sudah semakin banyak. Gesekan antar individu, antar kelompok dan antar negara juga semakin sering terjadi. Gesekan ini dapat menghasilkan perkenalan dan peluang, juga dapat menghasilkan pertengkaran dan perkelahian. Dengan sesama individu kita masih dapat mengharapkan niat baik ataupun pertolongan, tetapi dalam hubungan antar negara hal itu nyaris tidak ada. Tidak ada satu negarapun yang akan secara tulus dan tanpa kepentingan akan membantu negara lain. Selalu ada imbalan yang diharapkan. Dan imbalannya adalah akses atas aset-aset berharga negara yang dibantu. Baik berupa pangsa pasar ataupun sumber daya alamnya.

bumi sudah tua (2)

Kondisi yang tidak jauh berbeda juga terlihat di negara besar yang menjadi negara tempat kita hardolin (dahar, modol dan ulin) ini, Indonesia yang diucapkan dengan Endonesia (Lalu kenapa India tidak menjadi Endia, Indocina menjadi Endocina ataupun Italia menjadi Etalia? Betul-betul suatu misteri....). Keseharian kita semakin diisi dengan cerita kekerasan massal antar kelompok, baik yang berseragam agama, geng motor, geng mobil, ras bahkan sekedar tempat sekolah. Yang penting karena tempat gaul kalian berbeda maka kalian potensial menjadi musuh kami. Jadi tidak ada salahnya kalau kami serang kalian, karena mungkin saja kalian yang akan menyerang kami terlebih dahulu. Betapa negara ini telah menjadi tempat yang menyenangkan untuk mereka-mereka yang bergerak di bidang media pemberitaan. Ingat, bad news is a good news adalah prinsip utama dalam pemberitaan. Tak peduli dampak apa yang akan timbul sebagai akibat dari pemberitaan tersebut.

Contoh terakhir yang populer adalah kasus penyerangan Jamaah Ahmadiyah. Telah puluhan tahun mereka menetap di negara ini, dengan jumlah yang begitu-begitu juga, artinya secara penyebaran tidak mendapat sambutan yang berarti dari masyarakat Indonesia. Berbaur dengan masyarakat yang ber-Bhinneka Tunggal Ika. Tiba-tiba saat ini hal yang menyangkut pembubaran kelompok ini menjadi suatu komoditas issue yang menyenangkan bagi beberapa kelompok untuk dijadikan lahan unjuk eksistensi. Bahkan pada beberapa kejadian, unjuk eksistensi ini sangatlah berlebihan, sampai-sampai mengakibatkan meninggalnya beberapa warga negara kita sendiri. Lebih mengenaskan lagi kematian ini disambut oleh sorak sorai para pelakunya, yang jumlahnya mencapai puluhan bahkan ratusan. Dan inilah wajah eksistensi yang sekarang menjadi trend, eksistensi suatu kelompok yang seringkali diikuti kecemasan ataupun ketakutan di pihak lain.

Dari berbagai kejadian di atas, muncul pertanyaan, apa sebenarnya akar permasalahan yang menimbulkan banyaknya gejolak sosial tersebut. Apakah sekedar ketidak-adilan? Ataukah penerapan hukum yang tidak tegas? Atau dan banyak atau lainnya? Saya memandang akar dari gejolak tersebut adalah menipisnya kesempatan masing-masing individu untuk dapat menunjukkan eksistensi. Bertambah banyaknya jumlah penduduk bumi secara nyata menimbulkan tingkat persaingan yang semakin tinggi. Hal ini secara langsung mengakibatkan banyak di antara kita, penduduk bumi, yang tersingkir dari persaingan dan kemudian hanya dapat menjadi penonton.

Menjadi penonton berarti juga menipisnya kesempatan mengais peluang untuk menghasilkan nafkah, untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Sementara bagi yang beruntung untuk ikut bermain, jumlah manusia yang semakin banyak berarti juga semakin besar pangsa pasar produk yang mereka hasilkan, alias penghasilan yang semakin besar untuk mereka. Hal yang muncul kemudian adalah, bukan hanya masalah isi perut, tetapi juga kebanggaan pribadi yang semakin menipis, dengan kata lain tidak ada ruang untuk menunjukkan eksistensi, memiliki kebanggaan. Kebanggaan di dalam dunia yang semakin mendewakan materi adalah berupa barang maupun gaya hidup. Bagi yang tidak sempat bekerja secara reguler, bagi yang tidak menghasilkan uang dalam jumlah yang berlebih, adalah looser, kaum yang kalah.

bumi sudah tua (1)

Berbagai kejadian akhir-akhir ini mengisi berita di keseharian kita, nasional maupun internasional. Berita internasional yang cukup meresahkan antara lain adalah rentetan penggulingan rezim penguasa nun jauh di wilayah semenanjung Afrika sampai Arab. Umumnya dipicu oleh terlalu lamanya seorang pemimpin berkuasa, diawali dengan penggulingan penguasa Tunisia Ben Ali (jangan dianggap sebagai nama grup Band ataupun judul film Hollywood seperti Ben Hur) yang kemudian merembet ke arah Mesir dengan pemimpinnya Hosni Mubarak (padahal mubarak mupipis kan terserah dia sendiri lah). Saat ini semangat penggulingan penguasa menular ke negara-negara tetangga mereka seperti Libya (dari grup vokal Libya-Imaniar), Maroko (hal yang sudah diperingatkan oleh pemerintah, karena Maroko dapat menyebabkan impotensi, gangguan jantung dan paru-paru) dan negara lain-lain.

Semua gerakan tersebut didasari oleh ketidak-puasan sebagian besar rakyat atas ketimpangan yang tajam, di bidang ekonomi maupun sosial, yang mereka alami dibandingkan sebagian kecil kelompok yang lebih beruntung dalam penghidupannya. Kondisi ini ditambah-tambahi pula oleh perlakuan aparat hukum yang jauh berbeda antara, istilah klasiknya, si kaya dan si miskin. Kalau anda tak punya uang dan dianggap bersalah maka hukum akan menyalak tegas, tetapi bila anda punya uang walaupun ketahuan bersalah ya bisa nego lah. Kesama-rataan di muka hukum, secara nyaris merata di seluruh dunia, adalah dongeng belaka. Karena itu celakalah hai kau orang-orang yang tak ber-uang.

Sesungguhnya kondisi ini telah tersebar merata di seluruh permukaan bumi, Eropa, Asia, Amerika, Australia , Afrika dan wilayah-wilayah lain. Bukan hanya di daerah Timur Tengah (kalau dari negara kita mungkin lebih cocok disebut Barat Tengah alias BeTe) sebagaimana contoh di atas. Hanya saja di wilayah lain emosi rakyat sedikit terselamatkan dengan adanya katup pengaman berupa pergantian pemimpin secara berkala, seperti Pilpres di Indonesia yang setiap 5 tahun sekali. Jadi mata dan telinga rakyat tidak terlalu jenuh untuk melihat dan mendengar wajah dan nama yang sama selama puluhan tahun (kitapun pernah akrab selama puluhan tahun dengan nama-nama Presiden Sukarno dan Presiden Suharto). Tetapi pada dasarnya semua pergantian pemimpin itu tidak banyak merubah penghidupan sehari-hari mayoritas rakyat. Pokoknya “Nu ngampar, ngampar... nu nabeuh, nabeuh. Nu Lapar, lapar... nu seubeuh, seubeuh....”, semua persis sama seperti pemimpin sebelumnya.

Jumat, 15 Juli 2011

Gajah Mada?.... :-) 3

Setelah berhasil menghalangi penyatuan "Rama" Sri Baduga Maharaja dan "Ratu" Hayam Wuruk yang ditandai dengan matinya Citraresmi berupa Pitaloka/ Pataka, maka Hajj Al Ahmad terus membangkitkan semangatnya dalam menyebarkan ajarannya. Cita-citanya tidak lagi terbatas pada wilayah Jawa saja, melainkan untuk menyebar ke seluruh wilayah Nusantara. Ini dituangkan dalam suatu statement yang dikenal sebagai "Sumpah Al Mukhti wal Affah" yang artinya adalah berani untuk menjauhi hal-hal yang haram.

Dalam lidah pribumi statement "Al Mukhti wal Affah" kemudian dikenal sebagai sumpah "Amukti Palapa". Sumpah Palapa adalah suatu pernyataan/ sumpah yang dikemukakan oleh Hajj Al Ahmad/ Gajah Mada pada upacara pengangkatannya menjadi Patih Amangkubhumi Majapahit, tahun 1258 Saka (1336 M).

Sumpah Palapa ini ditemukan pada teks Jawa Pertengahan Pararaton, yang berbunyi,

"Sira Gajah Madapatih Amangkubhumi tan ayun amuktia palapa, sira Gajah Mada: Lamun huwus kalah nusantara isun amukti palapa, lamun kalah ring Gurun, ring Seran, Tañjung Pura, ring Haru, ring Pahang, Dompo, ring Bali, Sunda, Palembang, Tumasik, samana isun amukti palapa."

Terjemahannya,

"Beliau Gajah Mada Patih Amangkubumi tidak ingin melepaskan puasa. Ia Gajah Mada, Jika telah mengalahkan Nusantara, saya (baru akan) melepaskan puasa. Jika mengalahkan Gurun, Seram, Tanjung Pura, Haru, Pahang, Dompo, Bali, Sunda, Palembang, Tumasik, demikianlah saya (baru akan) melepaskan puasa."

Maka sejak itu haluan kerajaan Nusantara dalam sosok kerajaan Majapahit mulai berubah. Untuk sesaat perubahan ini memberikan kebesaran yang ditandai dengan ekspedisi-ekspedisi ekspansi pada seluruh wilayah. Tetapi tanpa dasar yang kukuh maka pada akhirnya kebesaran yang cenderung bersifat "one man show" mulai runtuh setelah Hayam Wuruk meninggal. Setelah meninggalnya sang raja, Hajj Al Ahmad yang mungkin merasa terancam setelah kehilangan pelindungnya diam-diam menghilang. Dalam kitab-kitab hal ini digambarkan secara sopan dengan kata "Moksa".

Dan akhir kisah, Sirna Hilang Kerta ning Bumi (1400 Saka atau 1478 Masehi), berakhirlah riwayat salah satu kerajaan terbesar yang pernah ada di Nusantara.

Salam....

Gajah Mada?.... :-) 2

Dalam kitab Kidung Sunda diceritakan bahwa sang Pitaloka atau Citraresmi ini akhirnya memilih untuk bunuh diri. Dengan kata lain budaya yang sudah turun temurun dilakukan mati dengan sendirinya.


Gajah Mada yang dimaki-maki oleh utusan Sunda (bait 1. 66b – 1. 68 a.)

"Ih angapa, Gajah Mada, agung wuwusmu i kami, ngong iki mangkw angaturana sira sang rajaputri, adulurana bakti, mangkana rakwa karěpmu, pada lan Nusantara dede Sunda iki, durung-durung ngong iki andap ring yuda.
Abasa lali po kita nguni duk kita aněkani jurit, amrang pradesa ring gunung, ěnti ramening yuda, wong Sunda kagingsir, wong Jipang amburu, praptâpatih Sunda apulih, rusak wadwamu gingsir.
Mantrimu kalih tinigas anama Lěs Beleteng angěmasi, bubar wadwamu malayu, anânibani jurang, amurug-murug rwi, lwir patining lutung, uwak setan pating burěngik, padâmalakw ing urip.
Mangke agung kokohanmu, uwabmu lwir ntuting gasir, kaya purisya tinilar ing asu, mengkene kaharěpta, tan pracura juti, ndi sasana tinutmu gurwaning dustârusuh, dadi angapusi sang sadubudi, patitânêng niraya atmamu těmbe yen antu.
"

Alihbahasa:

Wahai Gajah Mada, apa maksudnya engkau bermulut besar terhadap kami? Kita ini sekarang ingin membawa Tuan Putri, sementara engkau menginginkan kami harus membawa bakti? Sama seperti dari Nusantara. Kita lain, kita orang Sunda, belum pernah kami kalah berperang.
Seakan-akan lupa engkau dahulu kala, ketika engkau berperang, bertempur di daerah-daerah pegunungan. Sungguh dahsyat peperangannya, diburu orang Jipang. Kemudian patih Sunda datang kembali dan bala tentaramu mundur.
Kedua mantrimu yang bernama Lěs dan Beleteng diparang dan mati. Pasukanmu bubar dan melarikan diri. Ada yang jatuh di jurang dan terkena duri-duri. Mereka mati bagaikan kera, siamang dan setan. Di mana-mana mereka merengek-rengek minta tetap hidup.
Sekarang, besar juga kata-katamu. Bau mulutmu seperti kentut jangkrik, seperti tahi anjing. Sekarang maumu itu tidak sopan dan berkhianat. Ajaran apa yang kau ikuti selain engkau ingin menjadi guru yang berdusta dan berbuat buruk. Menipu orang berbudi syahdu. Jiwamu akan jatuh ke neraka, jika mati!


Ditegaskan pada bait terakhir adalah "Ajaran apa yang kau ikuti?" sangat mencolok bahwa perdebatan antara utusan Sunda dengan Gajag Mada adalah mengenai "Ajaran". Sedangkan kalimat di atasnya, yaitu "Bertempur di daerah-daerah pegunungan" sangat menggambarkan daerah asal dari Gajah mada atau Hajj Al Ahmad tersebut.

Prabu Hayam Wuruk yang meratapi Putri Sunda yang telah tewas (bait 3.29 – 3. 33)

"Sireñanira tinañan, unggwani sang rajaputri, tinuduhakěn aneng made sira wontěn aguling, mara sri narapati, katěmu sira akukub, perěmas natar ijo, ingungkabakěn tumuli, kagyat sang nata dadi atěmah laywan.
Wěněsning muka angraras, netra duměling sadidik, kang lati angrawit katon, kengisning waja amanis, anrang rumning srigading, kadi anapa pukulun, ngke pangeran marěka, tinghal kamanda punyaningsun pukulun, mangke prapta angajawa.
Sang tan sah aneng swacita, ning rama rena inisti, marmaning parěng prapta kongang mangkw atěmah kayêki, yan si prapta kang wingi, bangiwen pangeraningsun, pilih kari agěsang, kawula mangke pinanggih, lah palalun, pangdaning Widy angawasa.
Palar-palarěn ing jěmah, pangeran sida kapanggih, asisihan eng paturon, tan kalangan ing duskrěti, sida kâptining rawit, mwang rena kalih katuju, lwir mangkana panapanira sang uwus alalis, sang sinambrama lěnglěng amrati cita.
Sangsaya lara kagagat, pětěng rasanikang ati, kapati sira sang katong, kang tangis mangkin gumirih, lwir guruh ing katrini, matag paněděng ing santun, awor swaraning kumbang, tangising wong lanang istri, arěrěb-rěrěb pawraning gělung lukar.
"

Alihbahasa:

"Maka ditanyalah dayang-dayang di manakah gerangan tempat Tuan Putri. Diberilah tahu berada di tengah ia, tidur. Maka datanglah Sri Baginda, dan melihatnya tertutup kain berwarna hijau keemasan di atas tanah. Setelah dibuka, terkejutlah sang Prabu karena sudah menjadi mayat.
Pucat mukanya mempesona, matanya sedikit membuka, bibirnya indah dilihat, gigi-giginya yang tak tertutup terlihat manis, seakan menyaingi keindahan sri gading. Seakan-akan ia menyapa: “Sri Paduka, datanglah ke mari. Lihatlah kekasihnda (?), berbakti, Sri Baginda, datang ke tanah Jawa.
Yang senantiasa berada di pikiran ayah dan ibu, yang sangat mendambakannya, itulah alasannya mereka ikut datang. Sekarang jadinya malah seperti ini. Jika datang kemarin dulu, wahai Rajaku, mungkin masih hidup dan sekarang dinikahkan. Aduh sungguh kejamlah kuasa Tuhan!
Mari kita harap wahai Raja, supaya berhasil menikah, berdampingan di atas ranjang tanpa dihalang-halangi niat buruk. Berhasillah kemauan bapak dan ibu, keduanya.” Seakan-akan begitulah ia yang telah tewas menyapanya. Sedangkan yang disapa menjadi bingung dan merana.
Semakin lama semakin sakit rasa penderitaannya. Hatinya terasa gelap, beliau sang Raja semakin merana. Tangisnya semakin keras, bagaikan guruh di bulan Ketiga*, yang membuka kelopak bunga untuk mekar, bercampur dengan suara kumbang. Begitulah tangis para pria dan wanita, rambut-rambut yang lepas terurai bagaikan kabut.
"

Dalam bait di atas digambarkan penyesalan mendalam Hayam Wuruk yang mengabaikan budaya Nusantara dengan tidak memperdulikan pentingnya penyatuan "Rama" dan "Ratu" dalam keberlangsungan kehidupan Kerajaan Majapahit. Tampak dalam kata-kata "Supaya berhasil menikah, berdampingan di atas ranjang tanpa dihalang-halangi niat buruk. Berhasillah kemauan bapak dan ibu, keduanya."

Kamis, 14 Juli 2011

Gajah Mada?.... :-) 1

Tertulis dalam kitab Negarakertagama :
"Konon kabarnya para pendeta penganut Sang Sugata dalam perjalanan mengemban perintah Sri Baginda, dilarang menginjak tanah sebelah barat pulau Jawa. Karena penghuninya bukan penganut ajaran Buda."
Hal ini saya pahami bahwa daerah yang kini dikenal sebagai tanah Sunda adalah wilayah yang masih menganut agama asli Nusantara (bukan Buda, agama yang berasal dari luar Nusantara).

Majapahit, sebagai suatu kerajaan pewaris kerajaan Nusantara dimana rajanya dapat berasal dari suku manapun di Nusantara, masih membutuhkan pemberian "restu" dari pemegang kuasa Ibu Pertiwi. Kerajaan Nusantara yang dikenal sebelum Majapahit adalah Mataram Lama dan Sriwijaya.Maka hal ini sesuai dengan konsep tiga pusat kekuasaan dalam filosofi Nusantara yaitu Rsi, Rama dan Ratu. Hal yang sama dapat dilihat dalam contoh bahwa Penguasa Eropa pada abad pertengahan membutuhkan restu dari Paus di Vatican agar kekuasannya sah.

Pengesahan yang dilaksanakan oleh seorang "Rama" di tanah Sunda (yang belum tentu juga seseorang dari suku Sunda) diberikan dengan pemberian sebuah Pataka/ Pitaloka, dapat juga disebut sebagai Citraresmi yang merupakan tanda "resmi"nya seseorang menyandang "citra" atau status Raja Nusantara (Majapahit).

Alkisah pada tahun 1336, seorang asing (mungkin berasal Timur Tengah, Asia Selatan ataupun Cina) bernama Hajj Al Ahmad di tengah pengembaraannya di tanah Jawa berhasil mengabdi dan menunjukkan jasanya terhadap penguasa setempat. Atas ilmu pengetahuan yang dimiliki, keterbukaan budaya dalam menerima pendatang, dan juga sebagai penghargaan atas jasa-jasa tersebut Hajj Al Ahmad ditunjuk untuk menduduki salah satu jabatan puncak yang dimungkinkan, yaitu seorang Mahapatih di Kerajaan Agung Majapahit.

Mahapatih Hajj Al Ahmad bertugas mendampingi sang Raja Majapahit yang saat itu dijabat oleh Hayam Wuruk. Hayam Wuruk merupakan Raja Majapahit yang berasal dari bagian barat pulau Jawa, sebab nama Hayam adalah bahasa dari tanah Jawa bagian barat. Perlu diingat bahwa bahasa lokal untuk "Hayam" adalah "Pithik" yang artinya adalah ayam yang masih kecil. Sementara Hajj Al Ahmad sendiri, sesuai dengan postur tubuhnya yang tinggi, besar dan berhidung mancung kemudian dikenal sebagai "Gajah" Mada (juga sebagai plesetan lidah lokal dari nama Hajj Al Ahmad).

Pada suatu saat di tahun 1357, saat akan dilakukannya pengukuhan Hayam Wuruk sebagai Raja Majapahit, Hajj Al Ahmad sebagai seorang pendatang dengan latar belakang pemahaman yang berbeda berusaha untuk mengubah keyakinan Hayam Wuruk. Proses perubahan ini menjadi pertentangan bathin sang Raja dan dalam beberapa kitab digambarkan sebagai Perang Bubat. Ini ditegaskan dengan tidak pernah ada kepastian dimana gerangan "Bubat" itu berada secara fisik. Jadi kemungkinan besar "Perang Bubat" adalah sebuah istilah untuk menggambarkan kegalauan hati Hayam Wuruk yang juga menyangkut nasib Majapahit ke depan.

Seperti diketahui umum "Perang Bubat" ini dimenangkan oleh keyakinan yang ditanamkan oleh pihak Hajj Al Ahmad dan dengan sendirinya membatalkan pemberian Pitaloka sebagai Citraresmi Maharaja Nusantara kepada Hayam Wuruk. Sementara pengaruh "Rama" yang digambarkan sebagai Sri Baduga Maharaja (mungkinkah Baduga berarti orang yang melantik? jadi Sri Baduga Maharaja adalah berati orang yang melantik Maharaja) gagal mempertahankan kepercayaan ataupun tradisi lokal Nusantara.

Senin, 25 April 2011

Sekali lagi, Negaraku...

Pada dasarnya pendapatan seluruh lapisan masyarakat di Indonesia berasal dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Karena itu kemiskinan yang terjadi pada sebagian masyarakat di wilayah Indonesia secara tidak langsung adalah imbas dari ketidakmerataan aliran dana APBN tersebut. Untuk dapat mengatasi ketimpangan aliran dana tersebut, yang akhirnya dapat menyentuh kaum miskin, maka selayaknya secara bijak dapat diubah pola pengeluaran pada Pemerintah maupun masyarakat.

1. Bangun Budaya Berusaha, bukan Budaya Pegawai.
Adanya idiom bahwa kita adalah “Bangsa kuli, dan kuli di antara bangsa-bangsa” adalah mendekati kebenaran. Kebanyakan lulusan Perguruan Tinggi kita lebih menyenangi menjadi “kuli” berdasi dengan jalan melamar pekerjaan dibandingkan menjadi pengusaha. Mereka mempunyai cita-cita yang “hanya” sejalan dengan peluang yang disediakan perusahaan. Contohnya, saya bercita-cita menjadi seorang kepala bagian di PT. Freeport, tidak ada cita-cita untuk menjadi “pemilik” PT Freeport.
Hal ini menjadi penting dalam proses pemiskinan, karena pola pikir inilah yang menyebabkan lahan pekerjaan menjadi semakin sempit. Yaitu setiap orang ingin menjadi pegawai, bukan pengusaha. Kondisi ini diperparah oleh aturan-aturan pemerintah yang mempersulit pengusaha seperti surat-surat ijin untuk membuka usaha yang tumpang tindih, pungutan liar dan terbatasnya sarana lain. Belum lagi suku bunga kredit usaha yang secara ajaib lebih tinggi dari suku bunga kredit konsumtif. Secara langsung hal ini akan menggiring masyarakat untuk lebih berperilaku konsumtif dibanding untuk berusaha.

2. Pisahkan Kaum Mampu dan Kaum Tak Mampu .
Pemisahan disini bukanlah pemisahan dalam kesempatan membuka peluang, berusaha, bekerja dan kesempatan lainnya. Pemisahan yang dimaksud adalah pemilahan hal mana yang menjadi kepentingan si mampu dan mana yang menjadi kepentingan si tidak mampu. Ada beberapa hal yang patut dikemukakan karena akan tampak ekstrim tetapi memungkinkan untuk dilaksanakan.

2.1 Hilangkan subsidi BBM non Produktif.
Selama ini bensin Premium, yang disubsidi sehingga nyaris menghabiskan APBN, selalu dianggap sebagai kepentingan masyarakat umum. Tetapi masyarakat yang mana? Yang lebih menikmati adalah masyarakat yang memiliki mobil pribadi, yang setiap hari Sabtu digunakan untuk macet di Puncak dan pusat-pusat wisata lainnya. Bukan dinikmati oleh masyarakat kampung yang untuk menemui angkutan umum saja harus berjalan berkilo-kilometer. Kesimpulannya, yang selalu meributkan kenaikan harga Premium adalah orang yang mampu membeli mobil pribadi, bukan “seluruh masyarakat”. Untuk itu jangan ragu-ragu untuk menaikkan harga dan bila perlu menghapuskan bensin Premium.
Pada kenyataannya angkutan ekonomi dilayani kendaraan berbahan bakar solar seperti Kereta Api, Bus dan Truk. Untuk angkutan umum dalam kota produksi kembali bensin biru, yang lebih murah dan bebas timbal yang karena itu nilai oktannya rendah. Jika bensin biru disebutkan merusak mesin juga tidak masalah karena kenyataannya usia angkot telah lama dibatasi. Jadi saat rusak saat itu pula ijin operasi telah habis. Kalaupun pemilik “Honda Jazz” merasa keberatan dengan harga Pertamax yang mahal (Anggaplah Rp 20.000,-), maka silakan gunakan bensin biru. Bila tidak mau juga? Jangan beli mobil pribadi yang juga berarti menghemat devisa negara dengan tidak membeli barang impor.

2.2 Utamakan Perut Rakyat, bukan Lidah Rakyat.
Pemerintah tidak perlu terjebak dengan berita-berita di media yang mepermasalahkan naiknya harga minyak goreng. Perlu diingat bahwa minyak goreng adalah sarana untuk kenikmatan lidah. Rakyat miskin tidak akan sempat meributkan harga minyak goreng karena tidak ada yang dapat digoreng, karena beraspun mereka tidak mampu untuk membeli. Sementara itu dana milyaran Rupiah telah dikucurkan pemerintah untuk mensubsidi harga minyak goreng yang nota bene adalah “lidah” dan bukan “perut”. Padahal dokter manapun tidak pernah menganjurkan makanan digoreng, jauh lebih sehat jika makanan tersebut direbus. Jadi apa dan masyarakat kelas mana pula yang dibela kepentingannya oleh pemerintah?

2.3 Naikkan Pajak Barang-barang Konsumtif
Salah satu kesalahan terbesar yang merupakan warisan pemerintah Orde baru adalah budaya konsumtif. Saat ini ukuran kemapanan diukur dari besar layar TV kita, seberapa baru mobil sedan kita, seberapa modern handphone kita dan banyak hal remeh lainnya. Sayang justru hal remeh tersebutlah yang menyerap bagian terbesar penghasilan masyarakat. Seseorang menjadi stress karena mobilnya hanya buatan tahun ‘85 dan bukan mobil terbaru. Yang lain menjadi tidak percaya diri karena HP-nya hanya produksi lima tahun yang lalu dengan layar monochrome tanpa kamera. Belum lagi tower-tower BTS yang didirikan perusahaan selular yang setiap towernya memerlukan daya listrik rata-rata sebesar 15.000 watt. Sementara rakyat dianjurkan menghemat listrik, berapa banyak daya yang disedot BTS tersebut?
Untuk menghalangi impian-impian tersebut yang menjadikan pengeluaran tidak produktif ada baiknya naikkan pajak barang-barang tersebut sehingga menjadi sulit terjangkau oleh masyarakat kelas pas-pasan. Sebab dengan adanya mobil maka pikiran mereka menjadi susah oleh tidak terbelinya bensin untuk berjalan-jalan. Dengan adanya Handphone maka mereka menghutang kiri-kanan untuk membeli “pulsa” agar dapat ber-sms-an dengan temannya.

3. Hapus Budaya Suap dan Korupsi dengan Perubahan Aturan Hukum
Aturan main Hukum diubah dimana seorang “Penyuap” tidak dapat dituntut secara Pidana. Hanya “Tersuap” yang dapat dikasuskan. Dengan aturan seperti itu maka dalam sekejap diharapkan tidak ada satupun Aparat Pemerintah yang mau menerima suap. Jika kedua pihak masih terkena ancaman Pidana seperti saat ini maka para pelaku akan cenderung saling melindungi dan tutup mulut seperti pada kasus-kasus yang berkembang saat ini.
Selain itu inti yang terpenting dari setiap tindakan adalah sama, yaitu tepat sasaran, hemat devisa, pemimpin kuat pada komitmen dan tidak reaksioner. Perbanyak pemasukan dan kurangi pengeluaran negara melalui usaha perubahan budaya konsumtif menjadi budaya produktif. Bila devisa dapat dihemat serta ditunjang penurunan tingkat korupsi, Insya Allah angka kemiskinan di Indonesia ini dapat ditekan dan kelaparan dapat diberantas.