Label

Senin, 25 April 2011

Sekali lagi, Negaraku...

Pada dasarnya pendapatan seluruh lapisan masyarakat di Indonesia berasal dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Karena itu kemiskinan yang terjadi pada sebagian masyarakat di wilayah Indonesia secara tidak langsung adalah imbas dari ketidakmerataan aliran dana APBN tersebut. Untuk dapat mengatasi ketimpangan aliran dana tersebut, yang akhirnya dapat menyentuh kaum miskin, maka selayaknya secara bijak dapat diubah pola pengeluaran pada Pemerintah maupun masyarakat.

1. Bangun Budaya Berusaha, bukan Budaya Pegawai.
Adanya idiom bahwa kita adalah “Bangsa kuli, dan kuli di antara bangsa-bangsa” adalah mendekati kebenaran. Kebanyakan lulusan Perguruan Tinggi kita lebih menyenangi menjadi “kuli” berdasi dengan jalan melamar pekerjaan dibandingkan menjadi pengusaha. Mereka mempunyai cita-cita yang “hanya” sejalan dengan peluang yang disediakan perusahaan. Contohnya, saya bercita-cita menjadi seorang kepala bagian di PT. Freeport, tidak ada cita-cita untuk menjadi “pemilik” PT Freeport.
Hal ini menjadi penting dalam proses pemiskinan, karena pola pikir inilah yang menyebabkan lahan pekerjaan menjadi semakin sempit. Yaitu setiap orang ingin menjadi pegawai, bukan pengusaha. Kondisi ini diperparah oleh aturan-aturan pemerintah yang mempersulit pengusaha seperti surat-surat ijin untuk membuka usaha yang tumpang tindih, pungutan liar dan terbatasnya sarana lain. Belum lagi suku bunga kredit usaha yang secara ajaib lebih tinggi dari suku bunga kredit konsumtif. Secara langsung hal ini akan menggiring masyarakat untuk lebih berperilaku konsumtif dibanding untuk berusaha.

2. Pisahkan Kaum Mampu dan Kaum Tak Mampu .
Pemisahan disini bukanlah pemisahan dalam kesempatan membuka peluang, berusaha, bekerja dan kesempatan lainnya. Pemisahan yang dimaksud adalah pemilahan hal mana yang menjadi kepentingan si mampu dan mana yang menjadi kepentingan si tidak mampu. Ada beberapa hal yang patut dikemukakan karena akan tampak ekstrim tetapi memungkinkan untuk dilaksanakan.

2.1 Hilangkan subsidi BBM non Produktif.
Selama ini bensin Premium, yang disubsidi sehingga nyaris menghabiskan APBN, selalu dianggap sebagai kepentingan masyarakat umum. Tetapi masyarakat yang mana? Yang lebih menikmati adalah masyarakat yang memiliki mobil pribadi, yang setiap hari Sabtu digunakan untuk macet di Puncak dan pusat-pusat wisata lainnya. Bukan dinikmati oleh masyarakat kampung yang untuk menemui angkutan umum saja harus berjalan berkilo-kilometer. Kesimpulannya, yang selalu meributkan kenaikan harga Premium adalah orang yang mampu membeli mobil pribadi, bukan “seluruh masyarakat”. Untuk itu jangan ragu-ragu untuk menaikkan harga dan bila perlu menghapuskan bensin Premium.
Pada kenyataannya angkutan ekonomi dilayani kendaraan berbahan bakar solar seperti Kereta Api, Bus dan Truk. Untuk angkutan umum dalam kota produksi kembali bensin biru, yang lebih murah dan bebas timbal yang karena itu nilai oktannya rendah. Jika bensin biru disebutkan merusak mesin juga tidak masalah karena kenyataannya usia angkot telah lama dibatasi. Jadi saat rusak saat itu pula ijin operasi telah habis. Kalaupun pemilik “Honda Jazz” merasa keberatan dengan harga Pertamax yang mahal (Anggaplah Rp 20.000,-), maka silakan gunakan bensin biru. Bila tidak mau juga? Jangan beli mobil pribadi yang juga berarti menghemat devisa negara dengan tidak membeli barang impor.

2.2 Utamakan Perut Rakyat, bukan Lidah Rakyat.
Pemerintah tidak perlu terjebak dengan berita-berita di media yang mepermasalahkan naiknya harga minyak goreng. Perlu diingat bahwa minyak goreng adalah sarana untuk kenikmatan lidah. Rakyat miskin tidak akan sempat meributkan harga minyak goreng karena tidak ada yang dapat digoreng, karena beraspun mereka tidak mampu untuk membeli. Sementara itu dana milyaran Rupiah telah dikucurkan pemerintah untuk mensubsidi harga minyak goreng yang nota bene adalah “lidah” dan bukan “perut”. Padahal dokter manapun tidak pernah menganjurkan makanan digoreng, jauh lebih sehat jika makanan tersebut direbus. Jadi apa dan masyarakat kelas mana pula yang dibela kepentingannya oleh pemerintah?

2.3 Naikkan Pajak Barang-barang Konsumtif
Salah satu kesalahan terbesar yang merupakan warisan pemerintah Orde baru adalah budaya konsumtif. Saat ini ukuran kemapanan diukur dari besar layar TV kita, seberapa baru mobil sedan kita, seberapa modern handphone kita dan banyak hal remeh lainnya. Sayang justru hal remeh tersebutlah yang menyerap bagian terbesar penghasilan masyarakat. Seseorang menjadi stress karena mobilnya hanya buatan tahun ‘85 dan bukan mobil terbaru. Yang lain menjadi tidak percaya diri karena HP-nya hanya produksi lima tahun yang lalu dengan layar monochrome tanpa kamera. Belum lagi tower-tower BTS yang didirikan perusahaan selular yang setiap towernya memerlukan daya listrik rata-rata sebesar 15.000 watt. Sementara rakyat dianjurkan menghemat listrik, berapa banyak daya yang disedot BTS tersebut?
Untuk menghalangi impian-impian tersebut yang menjadikan pengeluaran tidak produktif ada baiknya naikkan pajak barang-barang tersebut sehingga menjadi sulit terjangkau oleh masyarakat kelas pas-pasan. Sebab dengan adanya mobil maka pikiran mereka menjadi susah oleh tidak terbelinya bensin untuk berjalan-jalan. Dengan adanya Handphone maka mereka menghutang kiri-kanan untuk membeli “pulsa” agar dapat ber-sms-an dengan temannya.

3. Hapus Budaya Suap dan Korupsi dengan Perubahan Aturan Hukum
Aturan main Hukum diubah dimana seorang “Penyuap” tidak dapat dituntut secara Pidana. Hanya “Tersuap” yang dapat dikasuskan. Dengan aturan seperti itu maka dalam sekejap diharapkan tidak ada satupun Aparat Pemerintah yang mau menerima suap. Jika kedua pihak masih terkena ancaman Pidana seperti saat ini maka para pelaku akan cenderung saling melindungi dan tutup mulut seperti pada kasus-kasus yang berkembang saat ini.
Selain itu inti yang terpenting dari setiap tindakan adalah sama, yaitu tepat sasaran, hemat devisa, pemimpin kuat pada komitmen dan tidak reaksioner. Perbanyak pemasukan dan kurangi pengeluaran negara melalui usaha perubahan budaya konsumtif menjadi budaya produktif. Bila devisa dapat dihemat serta ditunjang penurunan tingkat korupsi, Insya Allah angka kemiskinan di Indonesia ini dapat ditekan dan kelaparan dapat diberantas.