Label

Minggu, 07 Agustus 2011

Usulan Pemecahan Masalah Lalu Lintas di Kota Bandung

Sebetulnya akan sulit memecahkan masalah kesemrawutan lalu lintas di suatu kota tanpa penerapan zonasi secara ketat. Dimana peraturan harus ditegakkan, misalkan suatu wilayah yang sudah ditentukan untuk perumahan, tidak dimungkinkan untuk dibangun suatu tempat usaha seperti Mall atau perkantoran. Tetapi memandang situasi yang sudah berkembang di Kota Kembang ini maka masalah zonasi yang ketat sudah tidak memungkinkan untuk diberlakukan.

Jadi langsung ke masalah awal, yaitu lalu lintas, usaha yang pertama kali harus dilakukan adalah mengembalikan ruang lintasan kendaraan kembali kepada fungsinya dan mengurangi hambatan samping jalan. Berikut usulan perbaikan kondisi lalu lintas berdasarkan urutan skala prioritasnya :

• Perbaikan dan pembuatan drainase yang lebih memadai. Melimpahnya air limpasan permukaan ke jalan selama ini membuat hambatan lalu lintas dan juga mengurangi masa pakai aspal jalan. Selain itu genangan dan arus air selama terjadinya hujan juga dapat mengurangi kenyamanan bahkan membahayakan jiwa para pejalan kaki.

• Pembuatan jalur pejalan kaki (trotoar) yang baik dan nyaman. Jadi masyarakat yang akan berpindah tempat dalam jarak yang tidak terlalu jauh akan memilih berjalan kaki dibanding menggunakan kendaraan, baik kendaraan pribadi ataupun kendaraan umum, sehingga jumlah kendaraan di jalan dapat sedikit ditekan.

• Menjaga jalur pejalan kaki dari penyalahgunaan fungsi seperti penanaman pohon pelindung (atau pot tanaman dengan alasan penghijauan) di tengah-tengah jalur trotoar, penggunaan oleh pedagang pinggir jalan dan juga penggunaan sebagai tempat parkir kendaraan.

• Pembangunan gedung-gedung parkir oleh Pemerintah Kota. Selain mengurangi parkir di badan jalan maka gedung parkir ini juga lebih transparan dalam perhitungan pemasukkannya ke kas Pemkot. Biaya pembebasan lahan dan pembangunan gedung akan lebih murah dibandingkan pembangunan sarana transportasi massal modern seperti monorail.

• Pengaturan ulang jumlah dan jalur Angkutan Kota sehingga tidak menempuh jarak yang terlalu jauh. Selama ini banyak jalur angkutan kota yang bersinggungan dalam jarak yang cukup jauh, misalkan Jl. PHH Mustopha antara Jl. Pahlawan sampai Terminal Cicaheum. Dalam jarak sekian kilometer terdapat banyak jalur Angkutan Kota yang melintas secara bersamaan. Dampaknya harus disediakan sub-sub terminal yang merupakan penanda ujung dan akhir trayek.

• Untuk jarak tempuh yang jauh disediakan moda Angkutan Massal. Agar tidak bentrok kepentingan dengan angkutan jarak dekat maka harus diperhatikan agar moda Angkutan Massal ini tidak mudah dihentikan di sembarang tempat.

Memang untuk perbaikan kondisi perlalu-lintasan Kota Bandung diperlukan kemauan dan kerja keras dari seluruh Stake Holder kota. Tetapi jika hal inipun dari awal dianggap berat sehingga tidak memungkinkan untuk dikerjakan, maka rasanya tidak akan mungkin ada perubahan positif dalam masalah lalu lintas Kota Bandung.

Jumat, 05 Agustus 2011

Lalu Lintas Bandung, Lalu Lintas Neraka

Kota Bandung mempunyai jumlah penduduk yang besar dalam luasan wilayah yang kecil. Kota ini pada akhir pekan dan liburan sekolah banyak didatangi wisatawan, khususnya wisatawan lokal. Tetapi selain daya tarik wisata, Bandung juga terkenal dengan kepadatan lalu lintasnya. Jalan-jalan yang sempit dan melingkar-lingkar, pedagang kaki lima dan Mall bercampur baur dengan merdeka.

Ada beberapa hal yang dapat diidentifikasi sebagai akar permasalahan di atas, antara lain :

Perencanaan awal kota yang tidak memungkinkan untuk adanya pelebaran jalan secara ekstrim. Jika dipaksakan ada pelebaran maka kemungkinan akan terjadi penyatuan dua ruas jalan. Sebab pada beberapa wilayah jarak antara dua ruas jalan seringkali sangat dekat, seperti jalur utama Jl. Asia Afrika yang diapit oleh Jl. ABC dan Jl. Dalem Kaum – Jl. Cibadak. Maka pelebaran Jl. Asia Afrika secara ekstrim akan membuatnya bersatu dengan Jl. ABC dan atau Jl. Dalem Kaum.

• Pembagian zona kegiatan yang tidak terencana, pencampuran antara pemukiman (zona bangkitan) dan ekonomi (zona tarikan). Ini akibat kemerdekaan membangun tempat usaha apapun di wilayah manapun di kota ini sangat didukung oleh pihak Pemerintah Kota. Daerah Dago yang dahulu merupakan pemukiman kini menjadi daerah perdagangan, sedang di daerah Cicadas yang dulu daerah perdagangan justru dibangun apartemen yang fungsinya adalah tempat bermukim.

• Ketersediaan sarana pendukung lalu lintas yang buruk, seperti lahan parkir yang sedikit, trotoar untuk pejalan kaki yang nyaris tidak ada, saluran drainase yang juga nyaris punah juga menambah persoalan di saat hujan turun. Hal yang tampak jelas di Jl. Cihampelas, dimana terjadi perebutan fungsi lahan antara tanaman pelindung, pejalan kaki, jalur sepeda motor, tempat parkir mobil, tempat berdagang PKL dan jika hujan perebutan fungsi ditambah lagi oleh selokan air.

• Berlimpahnya daya tarik kota Bandung, mulai dari hawa yang relatif lebih bersahabat, tempat pendidikan, tempat usaha sampai tempat wisata. Maka dapat dibayangkan lalu lintas Jl. Ganesya di hari Sabtu, kendaraan mahasiswa ITB yang hendak kuliah bercampur dengan kendaraan wisatawan yang mencari parkir untuk menunggang kuda di Taman Ganesya. Sementara lahan parkir dan trotoar sudah terlebih dahulu dikuasai oleh pedagang VCD dan penjual makanan, belum lagi bila di Mesjid Salman ada kegiatan.

• Sebagai pelengkap dari menu 4 semrawut 5 sempurna adalah daya nalar pihak Pengelola Kota Bandung yang dari tahun ke tahun tidak mengalami peningkatan bahkan semakin memburuk. Pemerintah Kota tidak banyak memperhatikan hal selain meningkatnya pemasukan dari usaha-usaha yang dijalankan masyarakatnya. Jadi selama itu berdampak positif terhadap pendapatan maka sangat besar kemungkinannya usaha “apapun” disetujui keberadaannya.


Nah, secara garis besar hal-hal tersebut di ataslah yang merupakan penyumbang terbesar terjadinya Lalu Lintas Neraka di Kota Bandung. Jadi, anda ingin menyumbang? Kalau berminat, kami nanti kehadiran anda di akses keluar Tol Pasteur pada hari Sabtu sore. Sampai jumpa...

Selasa, 02 Agustus 2011

Bubarkan KPK, Pak Marzuki?

Minggu ini sekali lagi media membuat keributan di wilayah Indonesia. Ketua DPR Marzuki Alie diberitakan melontarkan kalimat "KPK lebih baik dibubarkan". Entah kalimatnya dipotong-potong atau memang niatnya seperti itu, saya kurang periksa. Yang jelas publik peminat gosip-gosip pemerintahan menjadi terpicu libidonya untuk berkomentar, termasuk saya tentunya.

Hanya saja saya mencoba untuk melihat dari sisi lain, seperti biasa. Sejak awal kiprahnya, KPK sebagai sebuah lembaga Super Body, buat saya adalah sebuah gangguan dalam kondisi negara yang normal. Kenapa menjadi gangguan? ya, karena mahluk KPK ini adalah sebuah lembaga anomali. Pertanda negara ini sedang kehilangan orientasi kenegaraan. Hampir seluruh rakyat kehilangan pemahaman tentang tupoksi lembaga-lembaga negara.

Sekitar 350 tahun yang lalu, Montesquieu (Perancis, 1689-1755), setelah melalui pengamatan sejarah yang panjang berhasil menelurkan teori Trias Politica yang bercerita tentang sebuah pemisahan kekuasaan. Mengapa kekuasaan perlu dipisahkan? Sebab kekuasaan tunggal adalah cenderung absolut dan juga cenderung korup absolut. Dan korbannya tentu saja, seperti umumnya adalah rakyat biasa seperti saya ini, yang bisanya cuma berusaha mencari celah kehidupan di sela-sela kaki kekuasaan.

Eksekutif adalah pemegang jalannya pemerintahan, dipimpin oleh seorang Presiden (Presidensil) ataupun Perdana Menteri (Parlementer). Kelompok inilah yang mempunyai hak dan kewajiban menjalankan birokrasi negara sehari-hari termasuk pengelolaan anggaran negara. Jelas hak dan kekuasaan yang besar ini memiliki kecenderungan untuk menyimpang bila dibiarkan tanpa pengawasan. Dan siapakah yang bisa mengawasi?

Legislatif adalah kumpulan manusia yang didudukkan sebagai wakil dari rakyat. Dan mengapa rakyat harus punya wakil? Oh tentu saja dwooonk. Rakyat harus punya wakil, sebab tidaklah mungkin manusia yang jumlahnya bisa ratusan juta bahkan milyaran ini semua menjadi legislator. Sedangkan kalau keinginan rakyat tidak diakomodir, wah, bisa bahaya situasi negara. Akan hancur berkeping-keping, menjadi kota-kota atau desa-desa merdeka. Dan akhirnya secara alamiah akan sedikit-sedikit bergabung kembali. Dan masalahpun berulang kembali.

Lalu bagaimanakah cara mengorganisir rakyat agar mereka bisa merasa memiliki wakil di Legislatif? Sistem demokrasi menyediakan saluran agar rakyat bisa memilih wakilnya melalui suatu kelompok "terdaftar" yang bernama Partai Politik (Parpol) yang dipilih melalui sebuah acara pemilihan umum. Naasnya saat ini, terutama di Indonesia, Parpol mulai kehilangan legitimasi di mata rakyat. Hal ini berhubungan dengan wewenang Legislatif untuk bekerja-sama dengan Eksekutif untuk bersama-sama membentuk pemerintahan.

Karena serempetan kepentingan itu, maka seringkali seorang Presiden atau Perdana Menteri secara diam-diam atau terang-terangan mengatur posisi dan cara bersuara Parpol di Legislatif. Usaha itu tentu saja dilakukan untuk mendapatkan tempat duduk yang lebih nyaman bagi Pimpinan Eksekutif. Dengan imbalan kenyamanan yang sama untuk sang Legislator tentunya. Dan pada saat yang bersamaan kepentingan rakyat dengan sendirinya tergusur dari pandangan wakilnya sendiri. Nah, hal di atas menjadi sebuah dilema untuk kegiatan bernegara yang berjalan dalam jalur Trias Politica-nya Montesquieu.

Lembaga penting terakhir dalam teori Trias Politica adalah Yudikatif. Fungsi utamanya adalah menjalankan pelaksanaan hukum dalam kehidupan sehari-hari negara. Hukum yang membatasi rakyat dan juga hukum yang
membatasi pemerintah. Ingat dalam semboyan kita adalah "Semua orang berkedudukan sama di muka hukum".

Sayang disayang, sang Yudikator ini mulai mengalami nasib yang sama dengan Legislator, yaitu kehilangan kepercayaan dari mata rakyat Indonesia. Banyaknya kasus hukum yang menyangkut kekuasaan dan uang menyebabkan hukum di Indonesia bersifat "Tajam ke bawah dan tumpul ke atas". Mahluk-mahluk yang bersemayam dalam lingkaran Yudikatif, yaitu Kehakiman dan Kejaksaan, kini tidak lagi dipercaya untuk menangani kasus-kasus tertentu yang bersifat "besar dan menarik perhatian publik".

Untuk mengatasi hal itu, beberapa waktu yang lalu ketiga lembaga tinggi ini membentuk sebuah bangunan baru yang diharapkan "Sakti" dan "Bebas dari kepentingan" selain kepentingan rakyat. Mahluk baru ini kemudian diberi nama Komisi Pemberantasan Korupsi. Sebagai beban, KPK diharapkan dapat menumpas benalu penjarahan dari dalam tubuh pemerintahan, termasuk dalam ketiga lembaga tinggi tadi.

Malangnya kewenangan (khususnya penyidikan dan penyelidikan) lebih KPK ini sedikit banyak tumpang tindih dengan wilayah kerja lembaga lain yang lebih umum ada dan lebih dulu ada, yaitu Kepolisian dan Kejaksaan. karenanya, yang harusnya sudah dapat diprediksi, sebelum dapat maju maka KPK sudah terlebih dahulu berebut lahan dengan Kepolisian dan Kejaksaan. Inilah akibat hobi kita membuat rumah baru di atas rumah yang masih tegak berdiri. Tumpang tindih tanpa orientasi yang jelas.

Akhirnya sekarang mulai down to earth kembali. KPK toh diisi oleh manusia-manusia Indonesia, yang juga memiliki kelemahan dan ketakutan yang sama seperti rekan-rekannya di Kepolisian dan Kejaksaan. Alangkah saktinya kekuatan uang. Mungkin sebagian besar dari kita kalau mati dan ditanyakan oleh Malaikat "Man Robbuka...?" maka jawaban umumnya tegas adalah "Uang!!!".

Kembali sayang disayang, KPK ini sudah terbentuk, dan kita memiliki kelemahan yang sama juga yaitu malu mengakui kesalahan. Oleh karena itu walaupun statement Marzuki Alie menurut saya sudah benar, menjadi sebuah kentut berbau busuk di muka umum. Mungkin karena ide ini, secara jorok dikeluarkan saat anggota partainya sendiri (Demokrat) berurusan dengan hukum. Andaikan usulan ini dikeluarkan saat anggota partai lain (seperti PPP, Golkar, PAN ataupun PDIP) sedang berurusan dengan hukum mungkin esensinya akan lebih tersampaikan dengan elegan.

Jadi kesimpulan saya, anda hanya salah waktu dalam mengungkapkan hal ini Pak Marzuki....