Label

Minggu, 25 April 2010

Pajak oh pajak....

Sekitar dua tahun yang lalu PBB yang harus saya bayar untuk kepemilikan tanah seluas 558 m2 di kota Bandung adalah sekitar 1 juta rupiah. Tahun kemarin, dikarenakan adanya perubahan kelas, (padahal walaupun naik kelas tetap saja lingkungan rumah saya adalah kampung, tidak menjadi di tepi jalan raya) maka PBB yang harus saya bayar naik menjadi sekitar 2 juta rupiah. Karena saya masih merasa sebagai warga negara Indonesia maka saya membayar kewajiban tersebut walaupun ada sedikit perasaan berat karena kenaikannya yang mencapai 100%. Perasaan berat itu semakin terasa ketika bulan ini saya menerima SPPT PBB sahun 2010 yang mencapai 3.518.432,00 (tiga setengah juta rupiah lebih).

Tahun lalu saya mencoba untuk bertanya ke Kantor Pelayanan Pajak terdekat yang membenarkan adanya kenaikan kelas tanah. Akhir kata Petugas berkata, bapak harus bersyukur memiliki lahan yang nilainya tinggi. Betul, siapa bilang saya tidak bersyukur. Tetapi jika setiap tahun PBB naik seperti ini maka saya tidak bisa membayangkan nilai PBB yang harus saya bayar tahun depan dan tahun-tahun berikutnya, bisa saja menjadi 5 juta, 7 juta dan seterusnya sampai saya tidak mampu dan terusir dari lahan yang sudah saya tempati sejak tahun 1980 ini. Atau memang itu rencana terselubung Pemerintah? Untuk menggusur ke pinggir kami-kami ini?

Telah menjadi jawaban standar Pemerintah bahwa pembayaran pajak adalah untuk kepentingan masyarakat sendiri. Tetapi saya mempunyai pandangan lain, jawaban itu sama sekali jauh panggang dari api. Diluar kasus mafia pajak yang sedang marak diberitakan, maka penggunaan APBN/ APBD sendiri saya nilai tidak bijaksana. Rata-rata antara 60%-70% penggunaanya habis untuk biaya rutin (gaji pegawai, makan, minum dan lain-lain) sedangkan yang digunakan untuk “kepentingan rakyat” seperti pembangunan jalan dan lain-lain hanyalah sekitar 30%-40%, itupun masih ada kasus mark-up, potongan dan lain-lain kenakalan pengelola anggaran. Jadi bagian terbesar hasil setoran pajak kami hanyalah digunakan untuk menggaji para penyelenggara negara, yang kinerjanya kita tau sendiri lah, serta untuk makan, minum, bensin serta baju-baju mereka.

Jadi saya menilai ada sesuatu yang lebih besar dari sekedar pencurian (sebagian menyebutnya dengan kata korupsi) oleh Penyelenggara Negara, yaitu penghamburan anggaran untuk sesuatu yang tidak perlu dan tanpa etika. Tetapi hal ini tidak termasuk kategori hukum untuk tindak pencurian. Sebagai contoh adalah Pengumuman Lelang Pemerintah Daerah (Harian Umum PR, 23 April 2010, hal 20-21), ada lelang suatu Biro Pemerintah tingkat Propinsi Jawa Barat yang “membutuhkan” kendaraan dinas Sedan (2400 cc!!!) dengan pagu anggaran Rp 475 juta, Jeep Patwal pagu Rp 350 juta dan Jeep SUV pagu Rp 1,7 milyar (total Rp 2,5 milyar!!!). Sedang di sebelahnya terpampang lelang pengadaan Aspal untuk pemeliharaan rutin kota Banjar senilai hanya Rp 661 juta. Ada lagi di kolom lain pengadaan bantuan peralatan tenis meja untuk 26 Kab/ Kota senilai Rp 4,2 milyar dan masih banyak hal-hal lain. Jelas bahwa lelang tersebut diumumkan secara terbuka dan transparan. Tetapi apakah bermoral dan etis jika negara membeli mobil senilai Rp 1,7 milyar rupiah? Oh, saya lupa, setelah beberapa tahun kan kendaraan itu nilai anggarannya menjadi nol Rupiah dan bisa di"dum" dengan harga murah kepada yang berminat (biasanya si pemakai sendiri).

Kesimpulan saya bahwa hasil pembayaran pajak kami, antara lain PBB yang saya keluhkan di atas, sebagian besar terserap untuk membayar gaji pegawai negara, remunerasi pegawai pajak yang mencapai 600 milyar per tahun (dan jelas untuk hal-hal yang sifatnya "rutin" tidak akan diumumkan dalam lelang di Surat Kabar), makan dan minum pegawai negara, mobil dinas yang ber-cc besar atau jeep senilai 1,7 M, peralatan tenis meja dan lain-lain. Sedang yang katanya “untuk kepentingan rakyat” hanyalah sebagian kecil saja. Terbanyak? Ya para pegawai "VOC bentuk baru" itulah yang menikmatinya.