Label

Jumat, 23 Juli 2010

Matahari Terbenam di Pantai yang Sedang Terbenam (Bagian 2)

Saat itu adalah pertengahan masa liburan sekolah. Dari berita di detik.com aku membaca bahwa kemacetan parah sedang terjadi di daerah wisata Puncak, Jawa Barat. Lalu lintas, kata berita, terhenti sampai 9 jam, luar biasa. Sewajarnya hal yang tidak jauh berbeda akan terjadi di wilayah Palabuhan Ratu yang juga merupakan salah satu daerah wisata terkenal di propinsi ini. Tetapi kami tidak menemukan suasana kepadatan wisata di sana. Pengunjung yang ada hanyalah sejumlah kecil saja. Beberapa hotel yang sempat terlihat menyajikan deretan kamar-kamar kosong serta tempat parkir mobil yang lengang. Hanya satu dua hotel saja yang terlihat agak ramai oleh jajaran mobil bernomor luar kota. Agak mengenaskan untuk daerah wisata dengan nama besar seperti Palabuhan Ratu.

Menemui air laut di bawah langit yang teduh membuat anak-anak segera bermain dengan ombak. Karena wilayah Palabuhan Ratu terkenal dengan keganasan arus air lautnya maka aku tak pernah lepas mengawasi kegiatan mereka di sela-sela ombak. Tak jarang aku memperingatkan mereka agar tidak bermain terlalu jauh ke tengah. Kesimpulanku, diperlukan kewaspadaan yang lebih di pantai ini, berbeda dengan beberapa pantai lain, arus balik air di Palabuhan Ratu lebih deras dan menyeret tubuh ke arah laut walaupun di air yang relatif dangkal. Tetapi selain hal itu, wilayah ini adalah wilayah yang cukup menyenangkan untuk kami, sang orang gunung yang bertemu pantai.

Malam mulai menjelang, kios-kios ikan bakar dalam kesepiannya mulai menyalakan lampu. Jumlah pengunjungpun tak juga bertambah, malah pengunjung lokal yang tidak menginap di daerah itu mulai meninggalkan pantai. Pondok sewaan kami yang berjarak hanya sekitar 25 meter dari bibir air juga mulai diliputi sepi. Untung pondok sewaan di sebelah kiri juga berisi satu keluarga sehingga kami tidak terlalu merasa sendiri. Ibu pemilik pondok dan pedagang ikan bakar dekat pondok dengan setia tetap berjaga di warungnya berharap ada yang membeli, yang tidak lain hanyalah kami saja. Walau terkesan agak cengeng, tapi benar-benar terasa menyedihkan, situasi sepi ini benar-benar diluar dugaan. Karena kami berangkat dari Bandung penuh dengan perhitungan bahwa akan mendapati kepadatan seperti tempat wisata yang pernah kami datangi. Tetapi yang kami dapati adalah sebaliknya.

Ikan bakar, itulah yang kami cari sebagai menu makan malam. Kami mencoba untuk makan di salah satu restoran yang banyak terdapat di sisi jalan dan pantai. Ternyata untuk ukuran kantongku agak terlalu mahal dengan rasa yang biasa saja. Tetapi memang rasa ikan Baronang dapat menyelamatkan lidah, walau dengan cara masak yang biasa saja. Setelah itu kami melanjutkan berjalan-jalan ke kota Palabuhan Ratu untuk melihat pasar Tempat Pelelangan Ikan yang tampaknya adalah sentral keramaian di kota ini. Tempat ini buka sampai jam 10 malam. Perdagangan ikan masih cukup ramai ketika kami datang sekitar jam delapan malam. Berbagai jenis hasil tangkapan laut tampak di TPI ini, mulai ikan yang tidak aku kenal wajahnya sampai Lobster (mereka menawarkan harga Rp 110.000,- per kg yang terdiri atas 4 sampai 5 ekor untuk lobster berukuran kecil sampai sedang). Sayang, aku belum tega untuk membelanjakan uang sebesar itu untuk sekedar membeli pengisi perut. Ah, memang liburan yang irit.

Ternyata di bagian depan pasar ikan tersebut ada sebuah bangunan bertingkat dua, kantor milik PT Pelabuhan Indonesia, yang telah berubah fungsi menjadi tempat makan ikan bakar. Saat masuk kita langsung disambut dengan empat meja milik pedagang yang berisikan berbagai jenis ikan, termasuk si Lobster tadi tapi dengan harga lebih mahal Rp 10.000,-, yang siap kita pilih. Rata-rata harga ikan kelas sedang adalah Rp 30.000,- sampai Rp 35.000,- per kg. Bahkan dapat dicampur beberapa jenis ikan dengan harga yang disamakan. Ongkos memasaknya adalah untuk bakar Rp 15.000,- per kg, sedang untuk masak jenis lain seperti ala saus tiram, asam manis dsb adalah Rp 20.000,- per kg. Jauh berbeda dengan resto-resto pinggir laut yang mencapai Rp 65.000,- per porsi! Setelah itu kita tinggal naik ke tingkat dua, memilih meja sambil menunggu pesanan kita matang. Sambil menunggu kita dapat melihat situasi pelabuhan yang sesak dengan perahu besar dan kecil. Makan di tempat ini menghabiskan biaya kurang lebih Rp 20.000 per orang. Itu juga untuk ukuran makan yang agak berlebihan.

Untuk kali ini perut kami benar-benar termanjakan oleh hidangan ikan bakar. Sebab dengan kesegaran bahan dasar ikannya, maka cara masak seperti apapun dapat menyelamatkan rasa. Apalagi dengan harga yang relatif terjangkau.Hanya saja sebaiknya tidak memesan kepiting di daerah ini, karena ternyata rasanya kurang gurih. Entah kenapa. Mungkin karena kadar garam di air laut Palabuhan Ratu yang relatif rendah, yang berdampak terhadap rasa daging Kepiting. Bukti dari rendahnya kadar garam air laut di tempat ini ada saat kita berenang di laut, pada saat kita keluar maka tubuh tidak terasa terlalu lengket seperti halnya di pantai-pantai lain.

Senin, 19 Juli 2010

Matahari Terbenam di Pantai yang Sedang Terbenam (Bagian 1)

Sebagai orang gunung maka salah satu tempat favorit kami untuk mengisi liburan adalah pantai. Cukup banyak pantai yang pernah kami singgahi, antara lain pantai Anyer (sekitar 6 jam perjalanan darat dari Bandung), pantai di Lampung (yang ini sekedar mampir karena keterbatasan waktu), pantai Cilacap dan Nusakambangan (sekitar 8 jam perjalanan darat dari Bandung), pantai Blanakan di Subang (3 jam), pantai Parangtritis di Yogya sampai pantai Kuta di Bali (dua hari perjalanan darat dari Bandung) dimana sepanjang perjalanan kami sempat mampir ke beberapa pantai lagi antara lain pantai Pasir Putih di daerah Situbondo Jawa Timur.

Terakhir kemarin (tanggal 4 Juli 2010) kami sekeluarga memutuskan untuk mengunjungi pantai Palabuhan Ratu di Sukabumi. Setelah menempuh perjalanan sekitar 4 sampai 5 jam dari Bandung, akhirnya kami tiba di kota Palabuhan Ratu. Untuk mencapai tempat wisata kami harus keluar sedikit dari kota, tidak jauh, hanya sekitar 2-4 km. Kamipun mulai bertanya-tanya tentang tempat menginap. Informasi yang sebelumnya saya kumpulkan dari internet hanya memuat harga-harga hotel yang buat kami harganya masih dapat ditekan lagi. Maklum, kalau saya menyebut "kami" maka itu berarti sejumlah enam orang dewasa dan empat orang anak. Hmm, jumlah yang sangat "Melayu" bukan? Sedang beberapa hotel yang pernah kami rasakan agak rewel mengenai jumlah penghuninya pada setiap kamar.

Memasuki wilayah wisata kami ditarik retribusi sejumlah Rp 20.000 untuk mobil dan penumpangnya. Cukup murah, walau belakangan baru saya sadar bahwa harga itu ternyata sudah hasil Mark-Up...:-). Harusnya hanya Limabelas Ribu Rupiah saja. Selepas itu kendaraan kami menyusuri jalan sepanjang tepi pantai di bawah rimbunnya pepohonan. Suatu pemandangan yang cukup langka bagi daerah pesisir. Tak lama kemudian tampak beberapa kios ikan bakar di sebelah kiri, disusul satu dua penginapan di sebelah kanan jalan. Kesemuanya cenderung sepi, padahal saat itu masih dalam masa liburan sekolah.

Setelah melalui beberapa kelompok kios serta penginapan kamipun berputar kembali, berniat terlebih dahulu menyapa air laut. Memasuki sekelompok kios wisata (dari judulnya banyak tertulis sedia macam2 ikan bakar tentunya) kami baru menyadari bahwa sebagian dari bangunan yang sebelumnya tampak sebagai kios ternyata adalah pondok yang disewakan untuk menginap. Ponpinpan, Pondok Pinggir Pantai. Setelah ditawari seorang pemuda maka akupun bertemu dengan Ibu pemilik pondok itu, sebuah bangunan panggung dari bilik berukuran kira-kira 5 kali 7 meter, berjarak hanya sekitar 25 meter dari tepi air pantai, di bawah kerimbunan pepohonan. Tawar menawarpun terjadi, dari harga Rp 400.000,- untuk seluruh rumah yang terdiri atas 2 kamar dan 2 kamar mandi menjadi tinggal setengahnya, Rp 200.000,-. Hanya saja jangan berharap ada AC, TV dan lain-lain kelengkapan standar hotel. Cukup ada kamar mandi dan kipas angin di dalam kamar. Akhirnya kamipun memutuskan untuk menyewa pondok itu.

Pemandangan di sekeliling tempat kami menginap memang tidak cukup mewah bagi yang terbiasa menginap di hotel. Dengan jarak antar bangunan semi permanen sekitar 5 sampai 10 meter, diseling dengan jalan tanah berpasir pantai, maka daerah itu tidak menjanjikan keindahan dan keteraturan modern. Di depan pondok kami terhampar warung kopi dan mie rebus si Ibu pemilik pondokan, menghalangi hamparan pantai dari teras pondok kami. Di sebelah kanan berjajar warung ikan bakar yang sepi dan beberapa penyewaan kamar mandi, sedang di sebelah kiri berdiri pondok sewaan lainnya. Di belakang kami ada hamparan lapangan yang membuat jarak antara jalan raya dengan pondok sewaan kami sekitar 30-40 meter. Puluhan pohon yang meneduhi membuat udara pantai tidak terasa panas. Keseluruhan, asal bersedia menerima pemandangan wisata ala pribumi (yang penuh kios), maka menginap di Ponpinpan seperti ini dapat berjalan menyenangkan dan murah.

Senin, 28 Juni 2010

Dunia Yang Semakin Tidak Serius

Seperti biasa hari sabtu atau minggu sering dimanfaatkan untuk menyelenggarakan pesta pernikahan. Karena itu hari minggu kemarin kami sekeluarga (aku, istri serta kedua anak kami Mangir dan Ken) juga menghadiri salah satu undangan pernikahan di seputaran Bandung. Dari sejak hari sabtu istriku sudah sibuk memilih baju yang akan kami gunakan ke pesta itu. Ternyata, pada saat seperti itu kami baru tersadar bahwa sedikit sekali persediaan baju yang kami anggap layak dan pantas untuk digunakan untuk sebuah acara resmi (resmi versi kami tentunya). Akhirnya dengan sedikit memaksakan, walau ada perasaan kurang puas, kami tetap menggunakan pakaian yang paling patut.

Singkat cerita kamipun sampai di tempat pernikahan itu dilangsungkan. Setelah mengisi buku tamu, akupun melangkah masuk sambil memperhatikan sekeliling untuk mencari sosok yang siapa tahu saja aku kenal. Saat itu pula mulai terperhatikan juga pakaian yang digunakan para undangan, ternyata banyak di antara mereka yang mempergunakan celana jeans, kemeja polos ataupun jenis-jenis pakaian santai lainnya. Memang masih ada juga yang menggunakan batik, jas ataupun kebaya untuk wanita. Belum lagi jenis sepatu yang digunakan kebanyakan orang ternyata cenderung semakin casual.

Cerita yang sederhana memang, mungkin juga tidak banyak berarti. Tapi hal itu membawa pikiranku berjalan lebih jauh. Mungkin itu sekedar penampakan luar, lebih dari itu, hampir seluruh segi kehidupan manusia kini juga semakin bergeser menuju dunia "ketidak-seriusan". Ingin contoh lain? Berapa miliar dollar uang yang berputar di dalam dunia "permainan" sepak bola. Berapa miliar dollar uang yang berputar di dalam dunia "game" baik yang online hingga perangkat yang bermerek "Play Station". Belum lagi rumah makan yang sedang trend saat ini adalah rumah makan yang bergaya cafe di daerah pegunungan, lengkap dengan arena out-bond, flying fox dan perangkat macam-macam yang bertujuan menghibur pengunjung dan mengantongi uang mereka.

Masih banyak hal yang menunjukkan betapa dunia semakin tidak serius. Mulai celana jeans yang kini mulai diterima sebagai pakaian resmi di kantor, pesta dan acara lain sampai jenis kegiatan penghasil uang miliaran rupiah ataupun dollar yang juga sama tidak seriusnya. Bahkan pekerjaan pertanian yang merupakan pekerjaan "serius" kini sudah ditumpangi menjadi kegiatan yang juga menghibur wisatawan dari kota. kerbau yang dahulu bekerja "serius" menarik bajak di sawah kini harus membagi perhatian dengan klien baru mereka yaitu anak-anak dari kota yang berebut mengantri tiket untuk dapat menaiki dan kadang memandikan mereka.

Ya, mungkin memang dunia semakin tidak serius. Paling tidak sudah tidak seserius dunia saat "orang-orang serius" seperti Hitler, Stalin, Roosevelt dan lain sebagainya masih bernapas. Saat ini sudah menjadi jaman "orang-orang keren" seperti Bill Clinton, Obama, mungkin buat beberapa orang juga SBY (buat saya tidak sih) dan lain-lainnya. Jadi selamat jalan dunia yang serius, saat ini engkau sudah tidak diperlukan lagi, karena dunia kami sekarang adalah dunia yang "asyik-asyik aja"...

Minggu, 25 April 2010

Pajak oh pajak....

Sekitar dua tahun yang lalu PBB yang harus saya bayar untuk kepemilikan tanah seluas 558 m2 di kota Bandung adalah sekitar 1 juta rupiah. Tahun kemarin, dikarenakan adanya perubahan kelas, (padahal walaupun naik kelas tetap saja lingkungan rumah saya adalah kampung, tidak menjadi di tepi jalan raya) maka PBB yang harus saya bayar naik menjadi sekitar 2 juta rupiah. Karena saya masih merasa sebagai warga negara Indonesia maka saya membayar kewajiban tersebut walaupun ada sedikit perasaan berat karena kenaikannya yang mencapai 100%. Perasaan berat itu semakin terasa ketika bulan ini saya menerima SPPT PBB sahun 2010 yang mencapai 3.518.432,00 (tiga setengah juta rupiah lebih).

Tahun lalu saya mencoba untuk bertanya ke Kantor Pelayanan Pajak terdekat yang membenarkan adanya kenaikan kelas tanah. Akhir kata Petugas berkata, bapak harus bersyukur memiliki lahan yang nilainya tinggi. Betul, siapa bilang saya tidak bersyukur. Tetapi jika setiap tahun PBB naik seperti ini maka saya tidak bisa membayangkan nilai PBB yang harus saya bayar tahun depan dan tahun-tahun berikutnya, bisa saja menjadi 5 juta, 7 juta dan seterusnya sampai saya tidak mampu dan terusir dari lahan yang sudah saya tempati sejak tahun 1980 ini. Atau memang itu rencana terselubung Pemerintah? Untuk menggusur ke pinggir kami-kami ini?

Telah menjadi jawaban standar Pemerintah bahwa pembayaran pajak adalah untuk kepentingan masyarakat sendiri. Tetapi saya mempunyai pandangan lain, jawaban itu sama sekali jauh panggang dari api. Diluar kasus mafia pajak yang sedang marak diberitakan, maka penggunaan APBN/ APBD sendiri saya nilai tidak bijaksana. Rata-rata antara 60%-70% penggunaanya habis untuk biaya rutin (gaji pegawai, makan, minum dan lain-lain) sedangkan yang digunakan untuk “kepentingan rakyat” seperti pembangunan jalan dan lain-lain hanyalah sekitar 30%-40%, itupun masih ada kasus mark-up, potongan dan lain-lain kenakalan pengelola anggaran. Jadi bagian terbesar hasil setoran pajak kami hanyalah digunakan untuk menggaji para penyelenggara negara, yang kinerjanya kita tau sendiri lah, serta untuk makan, minum, bensin serta baju-baju mereka.

Jadi saya menilai ada sesuatu yang lebih besar dari sekedar pencurian (sebagian menyebutnya dengan kata korupsi) oleh Penyelenggara Negara, yaitu penghamburan anggaran untuk sesuatu yang tidak perlu dan tanpa etika. Tetapi hal ini tidak termasuk kategori hukum untuk tindak pencurian. Sebagai contoh adalah Pengumuman Lelang Pemerintah Daerah (Harian Umum PR, 23 April 2010, hal 20-21), ada lelang suatu Biro Pemerintah tingkat Propinsi Jawa Barat yang “membutuhkan” kendaraan dinas Sedan (2400 cc!!!) dengan pagu anggaran Rp 475 juta, Jeep Patwal pagu Rp 350 juta dan Jeep SUV pagu Rp 1,7 milyar (total Rp 2,5 milyar!!!). Sedang di sebelahnya terpampang lelang pengadaan Aspal untuk pemeliharaan rutin kota Banjar senilai hanya Rp 661 juta. Ada lagi di kolom lain pengadaan bantuan peralatan tenis meja untuk 26 Kab/ Kota senilai Rp 4,2 milyar dan masih banyak hal-hal lain. Jelas bahwa lelang tersebut diumumkan secara terbuka dan transparan. Tetapi apakah bermoral dan etis jika negara membeli mobil senilai Rp 1,7 milyar rupiah? Oh, saya lupa, setelah beberapa tahun kan kendaraan itu nilai anggarannya menjadi nol Rupiah dan bisa di"dum" dengan harga murah kepada yang berminat (biasanya si pemakai sendiri).

Kesimpulan saya bahwa hasil pembayaran pajak kami, antara lain PBB yang saya keluhkan di atas, sebagian besar terserap untuk membayar gaji pegawai negara, remunerasi pegawai pajak yang mencapai 600 milyar per tahun (dan jelas untuk hal-hal yang sifatnya "rutin" tidak akan diumumkan dalam lelang di Surat Kabar), makan dan minum pegawai negara, mobil dinas yang ber-cc besar atau jeep senilai 1,7 M, peralatan tenis meja dan lain-lain. Sedang yang katanya “untuk kepentingan rakyat” hanyalah sebagian kecil saja. Terbanyak? Ya para pegawai "VOC bentuk baru" itulah yang menikmatinya.