Label

Kamis, 25 Desember 2008

AKU KEHILANGAN RAKSASA

Pada suatu waktu Bung Karno pernah bicara. Tahu Bung Karno? Itu tuh, dia pernah jadi Presiden Republik Indonesia. Eh, siapa tahu ada yang tidak tahu kan? Dia pernah bicara, “Pada suatu masa, dunia pernah dihuni oleh para raksasa. Beberapa dari raksasa itu ada yang baik, tetapi ada juga yang galak. Tetapi, demi Tuhan, mereka itu adalah benar-benar raksasa. Mereka ada yang bernama Churchill, ada yang bernama Hitler, ada yang bernama Lenin, ada yang bernama Stalin, ada yang bernama Gandhi, Marx, Engels, Mussolini, De Gaulle dan lain sebagainya. Dan kini raksasa-raksasa itu telah tidak ada lagi di muka bumi.” Lha kalau BK saja merasa bukan raksasa, apalagi kita-kita ini ya? Apa semakin lama otak manusia itu semakin ciut?
Juga ternyata sekarang aku merasa kehilangan raksasa-raksasa romantis seperti yang disebut di awal. Kehilangan kisah bagaimana sang Kopral kecil dari Bavaria, mas Hitler, bisa menjelma menjadi seorang Fuhrer. Kehilangan kisah bagaimana seorang bekas penjaga perpustakaan, oom Mao, bisa membawa satu juta manusia berjalan kaki sejauh 1000 km sambil dikejar-kejar brother Chiang Kai Sek. Bagaimana seorang anak muda pemimpi dan suka mabuk-mabukan bisa menciptakan suatu paham yang sempat mencemaskan dunia, ah siapa lagi kalau bukan bung Marx. Bagaimana sang pemimpin negara bisa membunuh istrinya sendiri karena mengkritik dirinya di muka forum, so pasti itu kelakuan kang Jugas Villi. Bingung, itu tuh nama asli Joseph Stalin.
Padahal sekarang ilmu pengetahuan telah berkembang semakin pesat. Universitas semakin banyak. Aku yakin seorang Gandhi, Soekarno, Tan Malaka, Mohammad Hatta ataupun George Wahington tidak pernah masuk Play Group, TK, ikut Bimbingan Test dan sebagainya. Mereka juga, yakin, tidak pernah minum susu bubuk yang mengandung AA dan DHA. Aku yakin pula saat mereka usia sekolah, kalau beruntung ada sekolah, tidak pernah masuk toko buku Gramedia untuk membaca berjenis-jenis buku yang terhampar di rak buku.
Sekarang kita lebih terpikat oleh raksasa-raksasa yang bernama Microsoft, Freeport, Shell, Telkomsel, Indosat dan macam-macam remeh temeh lainnya. Yang disebut raksasa adalah sesuatu yang sukses menghasilkan laba besar, uang banyak dan bukan pemikiran besar. Kita sekarang berada di dalam dunia raksasa-raksasa kaku dan beku tanpa sentuhan emosi. Ataukah waktu nanti akan membentuk seorang Mandela, Bush, Ahmadinejad, Soeharto, Habibie, Gus Dur, Megawati, SBY bahkan Bunga Citra Lestari menjadi raksasa-raksasa baru? Kalau ya, ah ternyata aku pernah hidup sejaman dengan raksasa-raksasa itu, walau terlihat agak kurang menggemparkan sosoknya di mataku.

Senin, 15 September 2008

INDONESIA TODAY, NEGARA KAUM HYENA

Indonesia, negaraku, milikku. Kok semakin ancur ya? Kalau ada bencana atau kecelakaan korbannya gak pernah tanggung-tanggung. Hari ini, tanggal 15 September 2008, ada pembagian zakat di Pasuruan, korbannya? 21 atau 22 orang ibu-ibu meninggal. Kasihan rakyat kita. Cuma buat dapat uang 30 ribu rupiah saja harus terinjak-injak sampai pingsan, bahkan mengorbankan nyawa. Salah siapa? Apa salah sang pembagi zakat, seorang ibu pengusaha sarang waletkah? Ah, rasanya bukan. Akunya sudah sejak tahun 1975 dia melakukan hal yang sama dan tidak menjadi masalah. Jadi salah siapa?

Beberapa hari yang lalu ada 16 jiwa melayang gara-gara minuman keras murahan di perkampungan Indramayu. Bayangkan apa kata tetangganya, bulan puasa meninggal gara-gara mabuk-mabukan. Bayangkan juga bagaimana malunya kerabat korban. Belum lagi kemarin 6 jiwa-jiwa muda melayang juga gara-gara takut ditangkap polisi saat bertengkar dengan kelompok tetangga kampungnya sehingga mereka nekad terjun ke danau. Padahal mereka tidak bisa berenang. Salah siapa lagi?

Beberapa minggu yang lalu kaum penguasa ribut mengenai kontrak kerja pengelolaan Gas Bumi yang dijual ke negara Cina dengan harga terlalu murah. Pak Presiden dan Pak Wapres sibuk berkeluh kesah ke media massa karena masalah itu merupakan warisan masalah dari Bu Presiden sebelumnya. Pikirku, keluh kesah itu hak monopoli rakyat, tuan.... Pemerintah tidak punya hak mengeluh. Kalian hanya punya kewajiban menyelesaikan masalah. Siapapun yang membuatnya. Kalau ingin mengeluh jadilah rakyat. Gaji kalian sudah puluhan juta rupiah per bulan, belum lagi komisi dari sana sini. Dengan pendapatan seperti itu kami tidak ingin mendengar keluh kesah kalian. Tidak ada kata tidak mampu, harus mampu. Kalau merasa berat, cepat mundur. Siapa tahu orang lain, bahkan aku, punya pemecahan masalah itu. Jangan hal-hal serius seperti itu dijadikan alat dan senjata menjelang kampanye saja.

Lucunya, beberapa hari kemudian giliran Tuan Presiden yang terpukul oleh senjatanya sendiri. Begini, ceritanya Pak Presiden ingin punya alat kampanye yang keren. Dipilihlah seorang pembantu yang qualified, versi dia, untuk membuat dan mengembangkan penemuan-penemuan hebat. Ah, semua juga pasti sudah tahu masalah Blue Energy dan Padi Supertoy. Hihi..., kok bisa ya kejadian seperti itu ada di lingkungan Istana. Rasanya cuma menampakkan betapa sebenarnya pemimpin-pemimpin negeri ini adalah orang-orang yang tidak qualified. Lha masalah seperti itu saja bisa tertipu oleh orang-orang kampung apalagi oleh gerombolan maling yang lebih terstruktur seperti Pertamina?

Pertamina, kalau ada yang belum tahu, adalah Badan Usaha Milik Negara yang bertugas mengelola Minyak Bumi dan Gas di tanah air kita untuk kepentingan bangsa dan negara. Hal itu ada tercantum di UUD 1945, gak tau pasal berapa sekarang, habis rubah-rubah terus sih karena amandemen. Logikanya kalau banya gas kan bisa dipakai buat rakyat dulu, kalau ada sisa baru dijual. Itu juga kalau perlu. Kenyataannya gas dan minyak dijual dengan harga murah ke orang asing, sampai-sampai rakyat harus berkeliling siang malam mencari gas. Padahal kita punya banyak gas, minyak, batu bara, emas dan lain-lain. Sekarang? Minyak tanah lebih mahal dari harga Pertamax yang sama-sama non-subsidi.... Pertamina memang isinya orang-orang edan. Yang penting buat mereka cuma komisi penjualan. Dasar mental calo.

Apa solusi Pemerintah? Tangkap saja pengolah daging sampah, bahkan mungkin si ibu pemberi zakat bisa-bisa juga ditangkap karena mengganggu ketertiban umum. Kenapa bukan orang-orang kaya dan boros yang membuang daging tak termakan yang ditangkap? Kenapa bukan Pak Menteri yang ngeles terus dari kewajiban mengganti rugi korban lumpur di Sidoarjo? Kenapa bukan orang-orang Pertamina yang kaya-kaya karena sukses mencuri harta bangsa dan negara? Beda masalah memang dengan Supertoy, karena menyangkut kampanye Presiden maka rakyat yang jadi korban harus cepat-cepat diberi ganti rugi. Nanti dipakai alat pukul oleh lawan-lawan politiknya dong, kalah dan jadi rakyat biasa. Pemimpin-pemimpin kita kan takut sekali jadi rakyat biasa, karena tahu jadi rakyat itu mengerikan.

Jadi sekali lagi apa masalahnya sampai rakyat bisa bertarung nyawa seperti tanggal 10 November 1945 hanya untuk uang 30 ribu. Atau kaum pemulung yang terpaksa mengolah daging sampah untuk bisa memenuhi kebutuhan orang-orang miskin lainnya untuk makan daging seperti kaum yang lebih mampu. Masalah kita adalah masalah kemiskinan. Tahun-tahun sebelumnya belum terjadi kemiskinan yang begini dahsyat. Sekarang? Beli gas masak harus sedia 15 ribu perak buat satu tabung. Kalau minyak tanah 12 ribu seliter. Belum beri beras yang 5 ribu perak per kilo, daging yang 60 ribu per kilo. Di manado cabe merah saja 85 ribu sekilo. Sementara penghasilan bukannya bertambah malah berkurang. Maklum uang negara habis tersedot para pegawai negeri, direktur-direktur BUMN, anggota-anggota Dewan yang terhormat serta dana agar Presiden, Wapres, Menteri, Gubernur dan Walikota bisa bermewah rupa.

Kesimpulanku secara dangkal dan sederhana, Pak Pemimpin kita yang sekarang telah sukses memiskinkan rakyat secara drastis. Tapi kalau hal itu diungkit-ungkit oleh pensiunan jenderal yang satu lagi dia jadi tersinggung dan tidak mau terima. Walaupun yang mengkritik juga kemungkinan besar sama saja, sarua wae, sami mawon. Sama-sama cari komisi saat memerintah.

Ah negara kita memang negara kaum calo. Negara para Hyena. Mereka makan daging bangkai rakyatnya sendiri....

Sabtu, 23 Agustus 2008

RAJA KEEMPAT

PEMIMPIN KEEMPAT

Berikutnya? Giliran pak Ustadz jadi Presiden. Kurang heboh? Begini, presiden ini memiliki kekurangan fisik pada penglihatan dan kaki, juga eks aktivis LSM. Jadi sah-sah saja berdebat, mengkritik dan bersenda gurau di atas podium. Namanya juga bekas proteswan dan juga komentator sepak bola, walaupun tumbuh di lingkungan darah biru pesantren. Lho... bukankah Presiden itu fungsinya untuk dikritik dan bukan mengkritik? Kok bisa seorang Presiden mengkritik di podium kenegaraan? Ya, inilah wajah negeri kita sekarang, semua bebas, yang penting koran dan tayangan televisi meriah dan laku.
Yang jelas Pak Kyai ini bertahta dari hasil kasak-kusuk para politikus di gedung rakyat, bukan hasil dari situasi kekerasan ataupun warisan. Dia bertahta hasil dari sebuah kejutan politik saja. Sesederhana itulah situasinya. Yang penting negara tidak dipimpin oleh si anu yang bergender anu, walaupun partai si anu itu pemenang pemilihan umum. Yah kalau sekedar wakil bolehlah. Dengan hasil ini tentu saja kaum pendukung kebebasan sipil bersorak, ini dia pemimpin yang cocok untuk kami. Presiden yang cuek, jauh dari kesan kaku, rapih, birokratis dan anti keprotokoleran seorang Presiden. Terlihat sedang pakai sarung, celana pendek atau sandal jepit? Oke-oke saja.
Pada masa inilah omongan pemimpin negara selalu menjadi Headline surat kabar. Bukan karena perintah Departemen Penerangan, karena sudah beliau bubarkan, tetapi karena memang sosoknya menghebohkan. A Real Newsmaker. Jangankan orang yang bukan satu Gank, pembantu-pembantunya sendiripun dia serang dengan kata-kata. Bahkan seorang jenderal yang dia jadikan pembantunya-pun dia suruh untuk mengundurkan diri. Ck... ck... ck..., orang yang aneh. Bukannya dipecat saja kalau tidak cocok sih. Kan dia yang angkat sendiri? Sah-sah saja kalau dia pecat. Nah kan, aneh?
Sebetulnya aku lebih cocok dengan Pak Ustadz ini. Orangnya heboh, sulit ditebak. Terutama omongannya tidak membosankan seperti yang sudah-sudah. Memang kondisi negara tidak bertambah baik, tetapi minimal menghibur lah. Lha iya kan? Kalau semua sama saja yang penting mana yang menghibur. Mau Insinyur, mau Jenderal, mau Profesor, mau Ustadz, mau Ibu Rumah Tangga dan balik lagi ke Jenderal tetap saja Dollar naik, BBM naik, beras naik, betul? Aku kan cuma rakyat. Yang beda cuma muka-muka pemimpinnya saja, kondisi negara tetap saja sama. Aku jadi heran, apa yang harus diubah ya supaya kami bisa hidup di negara yang agak beradab?

Raja Ke-empat, Pak Ustadz ini, saking sukanya berdebat, maklum bekas aktivis (sedikit pelajaran bahasa, AKTIVIS bukan AKTIFIS, pakai V bukan F, kesal aku melihat orang nulis gak pake ilmu) LSM, tak henti-hentinya mencari bahan perdebatan. Bahkan Ibu wakilnya sendiri diajak berdebat terus. Celakanya Ibu ini orang pendiam. Nah, orang pendiam kan suka memendam perasaan, jadi kalau tersinggung dia pendam di dalam hati. Bulan ke bulan, tahun ke tahun, sampai meledaklah perasaan seorang wanita. Akibatnya sang Wakil sering ngambek, gak mau sarapan bareng. Padahal sarapan bareng ini merupakan trik sang Raja untuk mendekatkan diri dengan wakilnya, sekalian mengirit pengeluaran Rumah Tangga Istana mungkin. Raja datang Wakil menghindar. Ah, si Ibu bisa aja bikin penasaran ya?
Belum cukup, datang lagi celaka nomer dua. Sang Raja sepertinya lupa, atau cuek, mengingat Ibu wakil Raja ini didukung Fraksi terbesar di Parlemen. Wah, Pak Ustadz nekad. Walhasil barisan pendukung Ibu Wakil ikut marah-marah melihat bos-nya diomongin macem-macem oleh Rajanya sendiri. Dengan sedikit kompor di sana-sini, beraksilah bung, tuan dan nyonya di Parlemen. Barisan pendukung Raja di Parlemen cuma sedikit, terang saja tidak berdaya digempur kelompok Ibu Wakil. Nah, celaka nomer tiga datang. Kaum Brutus yang dahulu ikut bersorak atas kenaikan Pak Ustadz ke Singgasana berbalik seperti Hyena mencium bau bangkai, ikut mengeroyok.
Akhirnya para Politisi Parlemen bersepakat, panggil Pak Ustadz ke sini, biar kita marahin ramai-ramai. Pak Ustadz awalnya datang, tetapi begitu suasana agak-agak kurang bersahabat, dengan cepat dia berdiri (Yah kadang-kadang beliau bisa berdiri juga kok) dan ngacir begitu saja keluar ruangan. Waduh-waduh, negeriku makin seru nih. Huuu.... Parlemen tambah marah. Tidak bisa dibiarkan kejadian seperti ini di negara Demokrasi!!! Pemimpin Negara harus dan harus menghormati Parlemen yang mulia ini. Dijawab lagi oleh sang Pemimpin, Parlemen kok seperti Taman Kanak-kanak. Seru kan? Negara mana yang ada kejadian seperti di negaraku ini?
Hari ke hari pertengkaran (Sebetulnya kalau untuk Politisi kata yang benar adalah selisih paham, tapi sepertinya hal ini sudah menjadi pertengkaran) semakin tajam dan sering. Adu pernyataan di koran dan televisi silih berganti menghias. Radio juga mungkin ya? Oh ya, di El Shinta, entah di RRI ada atau tidak. Oplaag koran naik, rating berita televisi naik. Pedagang untung Rakyat bingung. Maka setelah mencoba menendang-nendang Panglima Tentara untuk mundur, tapi Panglimanya gak mau, sang Pemimpin dengan gagahnya mencoba meniru pemecahan ala Raja Pertama negeri ini. Dekrit Presiden, dengan ini Parlemen saya bubarin.... Entah karena kurang Charming di mata rakyat, atau kurang wibawa di mata Parlemen, dekrit itu ditertawakan di Parlemen. Enak aja dekrit, sudah keluar uang berapa kami untuk dapat jatah kursi empuk ini, kita bales.... Raja kita berhentikan!!! Horee....
Entah merasa salah atau merasa kurang dukungan terutama dari korps baju hijau, ya iyalah orang Panglimanya juga mau dipecat kok, Pak Presiden pamit mundur dari Istana. Alasannya, mau berobat dulu ah ke luar negeri. Ya sudah, begitu saja petualangannya menjadi pemimpin di negara ini. Agak-agak ngenes juga sih, mana adegan perpisahannya juga pake celana pendek di Istana, terus keluar ke lapangan dan pidato perpisahan di lapangan depan dengan beberapa Fans-nya. Sedih buat yang pro Pak Ustadz tapi menggembirakan buat yang gak suka, dan jumlah yang gak suka ini, terus terang, juga tidak sedikit. That’s all about Him folks, cukup dua tahun saja.

Rabu, 06 Agustus 2008

NEGARAKU DI MATAKU


PEMIMPIN-PEMIMPIN ANEH DI NEGARA ANEH
Indonesia, 2008

Akhirnya aku terpaksa menulis lagi. Waktu yang menggelinding tak terasa sudah mendorongku semakin mendekati batas akhir umur manusia. Hal ini membuatku agak panik. Wah, jangan-jangan tidak ada sesuatu yang berarti untuk ditinggalkan yang membuatku dapat diingat selama mungkin. Memang enak menjadi orang besar yang terkenal, mungkin seperti Galileo, Da Vinci, Hitler juga tak apa. Yah untuk negeri ini mungkin sekelas Soekarno atau Soeharto cukup memadai. Mereka banyak yang mengingat, baik sisi baik ataupun sisi buruk. Apapun..., mereka tetap diingat.
Kenyataannya, sampai saat ini aku tidak juga terkenal. Aku mulai berpikir jangan-jangan memang aku tidak punya takdir untuk terkenal. Mungkin karena aku terlalu penakut atau mungkin memang kurang bakat? Atau malas? Ah entahlah, yang jelas seperti inilah aku, biasa-biasa saja. Sekedar menjadi penduduk yang tidak sering melanggar hukum, baik hukum negara ataupun adat. Entah kalau hukum agama, rasanya cukup sering aku melanggarnya walau tanpa keinginan untuk berbuat dosa.
Untuk itulah mungkin aku ingin menulis. Apa sajalah yang tertulis. Karena tulisan, kalau tersimpan baik, akan berumur jauh lebih panjang dari umur manusia manapun. Jadi setidaknya satu atau dua orang yang kelak membaca tulisan ini akan tahu bahwa pernah hidup seorang “aku” yang menulis kalimat-kalimat ini. Mungkin anak atau cucuku sendiri, siapa saja, yang penting mereka dapat aku rayu untuk selalu mengingatku, walau badanku sudah lama lumat di dalam tanah. Tolong kenali dan kenang aku. Biarlah prakatanya agak-agak meniru siapa itu...? Max Havelaar atau siapa ya, aku lupa lagi.

PEMIMPIN KETIGA

Alkisah, di negeri aneh bin ajaib yang bernama Indonesia ini, setelah sekian lama diperintah dua orang Presiden yang sosoknya mirip-mirip raja, akhirnya masuk juga ke masa-masa berdemokrasi. Kenal istilah itu? Pasti kenal, tapi kalau memahami dan menghayati itu persoalan lain. Alkisah Raja pertama, seorang pemimpi, dijatuhkan oleh Raja kedua. Korbannya adalah beberapa orang tentara dan jutaan rakyat jelata. Lalu sang Raja kedua kalah dengan umur yang telah mengikis semangat berkuasanya. Diserahkanlah tahta kepada sang wakil melalui korban beberapa ratus nyawa rakyat jelata lagi. Dan sang wakil, yang sudah tidak memiliki pamor seorang Raja, marak menjadi Presiden. Jadilah sang wakil, seorang jenius dengan semangat berbicara yang berapi-api, seorang teknokrat aliran Jerman, tiba-tiba terbangun dari mimpi dalam kondisi terduduk di tahta tertinggi Republik ini.
Nah, sekarang di negeri ini kita bebas bicara. Mari kita kutuk sepuas-puasnya si pemimpin dan tentara, tidak usah takut seperti dulu lagi. Tidak ada lagi ancaman untuk proteswan dan proteswati. Semua boleh, mungkin saja seperti di Jerman sana. Tapi tunggu dulu..., sang Presiden juga bebas untuk tampak lemah, bodoh dan culas, tidak harus tampil dengan kesan sempurna walau jelas sama saja punya kelemahan, kebodohan dan keculasan juga, seperti yang Presiden sudah-sudah. Di satu sisi, inilah kemerdekaan bagi seluruh orang, di sisi yang lain situasi semakin kacau. Maklum, ribuan tahun bangsaku ini tidak tahu ataupun mengenal mahluk apa sih demokrasi itu? Jadi yang namanya demokrasi ya begini ini. Demokrasi ala peduli amat.
Proteswan dan proteswati bertambah semangat, beberapa orang mati waktu asyik-asyiknya berdemo. “Hah...! Berani-beraninya tentara bunuh rakyat...!”Bentak kaum pemprotes, ”Darah kawan kami cuma membuat kami bertambah marah saja. Tidak ada lagi takut.” Teriak mereka dengan gagahnya. Tapi itu sekarang..., bukan sepuluh atau duapuluh tahun yang lalu ketika Raja Kedua masih kokoh bertahta. Waktu itu adakah keberanian itu? Tidak ada. Dan aku, sekali lagi, cuma jadi penonton. Dulu, aku terlalu takut. Sekarang, apalagi yang harus diteriakkan? Segalanya sudah selesai, tiada lagi musuh bersama. Aku merasa kehilangan Raja kedua.... Sekarang semua orang adalah demonstran. Jadi apalagi istimewanya? Aku juga mulai bosan dengan mereka. Saat ini lebih penting kalau kita harus dapat bertahan hidup.
Kembali ke sang Raja. Di atas kursi yang sejak dahulu menjadi idaman banyak orang di Republik ini sang Presiden ibarat menjadi bulan-bulanan. Secara intelektual bolehlah, tetapi secara kekuatan politis? Terkadang aku merasa apa masih ada Presiden di negara kacau balau ini.
Akhirnya sang Raja ketiga dikalahkan oleh wakilwan dan wakilwati rakyat, setidaknya itulah klaim sebutan untuk mereka yang dibuat oleh mereka sendiri, entah yang namanya rakyat merasa terwakili oleh mereka atau tidak. Pertanggungjawabannya ditolak, nasib yang mirip-mirip dengan Nawaksara sang raja pertama. Hanya saja sang Raja nomer tiga ini masih bisa bebas jalan-jalan ke negara tercintanya yang lain, Deutch uber alles. Rakyat sudah tidak peduli, tidak ada dendam, nothing personal. Yang penting di mata rakyat adalah : siapa lagi yang akan kita jatuhkan berikutnya.
Selama huru-hara dan hore-hore ini berjalan dengan meriahnya di negeri tercinta ini, selama itu pula aku mencari-cari pekerjaan kian kemari. Aku kan sarjana, setelah lulus ya harus bekerja. Sialnya aku lulus dalam kondisi ekonomi negara yang sedang sakit keras. Satu-satu perusahaan bangkrut dan tutup. Jangankan aku yang baru lulus –mungkin terlalu lama memang aku kuliah, sepuluh tahun- sedangkan orang lain yang sudah enak-enak kerjapun diberhentikan secara massal. Ah, nasib menggiring aku untuk cuma bisa jadi petani kecil. Kalau dipikir lagi, sampai sekarang aku masih kesal pada Raja nomor Dua itu. Gara-gara dia aku jadi susah seperti itu. Enak saja dia dengan mengatas-namakan negara menghutang kiri-kanan. Giliran bayar...? Kami yang harus membayar. Sialan.