Label

Sabtu, 23 Agustus 2008

RAJA KEEMPAT

PEMIMPIN KEEMPAT

Berikutnya? Giliran pak Ustadz jadi Presiden. Kurang heboh? Begini, presiden ini memiliki kekurangan fisik pada penglihatan dan kaki, juga eks aktivis LSM. Jadi sah-sah saja berdebat, mengkritik dan bersenda gurau di atas podium. Namanya juga bekas proteswan dan juga komentator sepak bola, walaupun tumbuh di lingkungan darah biru pesantren. Lho... bukankah Presiden itu fungsinya untuk dikritik dan bukan mengkritik? Kok bisa seorang Presiden mengkritik di podium kenegaraan? Ya, inilah wajah negeri kita sekarang, semua bebas, yang penting koran dan tayangan televisi meriah dan laku.
Yang jelas Pak Kyai ini bertahta dari hasil kasak-kusuk para politikus di gedung rakyat, bukan hasil dari situasi kekerasan ataupun warisan. Dia bertahta hasil dari sebuah kejutan politik saja. Sesederhana itulah situasinya. Yang penting negara tidak dipimpin oleh si anu yang bergender anu, walaupun partai si anu itu pemenang pemilihan umum. Yah kalau sekedar wakil bolehlah. Dengan hasil ini tentu saja kaum pendukung kebebasan sipil bersorak, ini dia pemimpin yang cocok untuk kami. Presiden yang cuek, jauh dari kesan kaku, rapih, birokratis dan anti keprotokoleran seorang Presiden. Terlihat sedang pakai sarung, celana pendek atau sandal jepit? Oke-oke saja.
Pada masa inilah omongan pemimpin negara selalu menjadi Headline surat kabar. Bukan karena perintah Departemen Penerangan, karena sudah beliau bubarkan, tetapi karena memang sosoknya menghebohkan. A Real Newsmaker. Jangankan orang yang bukan satu Gank, pembantu-pembantunya sendiripun dia serang dengan kata-kata. Bahkan seorang jenderal yang dia jadikan pembantunya-pun dia suruh untuk mengundurkan diri. Ck... ck... ck..., orang yang aneh. Bukannya dipecat saja kalau tidak cocok sih. Kan dia yang angkat sendiri? Sah-sah saja kalau dia pecat. Nah kan, aneh?
Sebetulnya aku lebih cocok dengan Pak Ustadz ini. Orangnya heboh, sulit ditebak. Terutama omongannya tidak membosankan seperti yang sudah-sudah. Memang kondisi negara tidak bertambah baik, tetapi minimal menghibur lah. Lha iya kan? Kalau semua sama saja yang penting mana yang menghibur. Mau Insinyur, mau Jenderal, mau Profesor, mau Ustadz, mau Ibu Rumah Tangga dan balik lagi ke Jenderal tetap saja Dollar naik, BBM naik, beras naik, betul? Aku kan cuma rakyat. Yang beda cuma muka-muka pemimpinnya saja, kondisi negara tetap saja sama. Aku jadi heran, apa yang harus diubah ya supaya kami bisa hidup di negara yang agak beradab?

Raja Ke-empat, Pak Ustadz ini, saking sukanya berdebat, maklum bekas aktivis (sedikit pelajaran bahasa, AKTIVIS bukan AKTIFIS, pakai V bukan F, kesal aku melihat orang nulis gak pake ilmu) LSM, tak henti-hentinya mencari bahan perdebatan. Bahkan Ibu wakilnya sendiri diajak berdebat terus. Celakanya Ibu ini orang pendiam. Nah, orang pendiam kan suka memendam perasaan, jadi kalau tersinggung dia pendam di dalam hati. Bulan ke bulan, tahun ke tahun, sampai meledaklah perasaan seorang wanita. Akibatnya sang Wakil sering ngambek, gak mau sarapan bareng. Padahal sarapan bareng ini merupakan trik sang Raja untuk mendekatkan diri dengan wakilnya, sekalian mengirit pengeluaran Rumah Tangga Istana mungkin. Raja datang Wakil menghindar. Ah, si Ibu bisa aja bikin penasaran ya?
Belum cukup, datang lagi celaka nomer dua. Sang Raja sepertinya lupa, atau cuek, mengingat Ibu wakil Raja ini didukung Fraksi terbesar di Parlemen. Wah, Pak Ustadz nekad. Walhasil barisan pendukung Ibu Wakil ikut marah-marah melihat bos-nya diomongin macem-macem oleh Rajanya sendiri. Dengan sedikit kompor di sana-sini, beraksilah bung, tuan dan nyonya di Parlemen. Barisan pendukung Raja di Parlemen cuma sedikit, terang saja tidak berdaya digempur kelompok Ibu Wakil. Nah, celaka nomer tiga datang. Kaum Brutus yang dahulu ikut bersorak atas kenaikan Pak Ustadz ke Singgasana berbalik seperti Hyena mencium bau bangkai, ikut mengeroyok.
Akhirnya para Politisi Parlemen bersepakat, panggil Pak Ustadz ke sini, biar kita marahin ramai-ramai. Pak Ustadz awalnya datang, tetapi begitu suasana agak-agak kurang bersahabat, dengan cepat dia berdiri (Yah kadang-kadang beliau bisa berdiri juga kok) dan ngacir begitu saja keluar ruangan. Waduh-waduh, negeriku makin seru nih. Huuu.... Parlemen tambah marah. Tidak bisa dibiarkan kejadian seperti ini di negara Demokrasi!!! Pemimpin Negara harus dan harus menghormati Parlemen yang mulia ini. Dijawab lagi oleh sang Pemimpin, Parlemen kok seperti Taman Kanak-kanak. Seru kan? Negara mana yang ada kejadian seperti di negaraku ini?
Hari ke hari pertengkaran (Sebetulnya kalau untuk Politisi kata yang benar adalah selisih paham, tapi sepertinya hal ini sudah menjadi pertengkaran) semakin tajam dan sering. Adu pernyataan di koran dan televisi silih berganti menghias. Radio juga mungkin ya? Oh ya, di El Shinta, entah di RRI ada atau tidak. Oplaag koran naik, rating berita televisi naik. Pedagang untung Rakyat bingung. Maka setelah mencoba menendang-nendang Panglima Tentara untuk mundur, tapi Panglimanya gak mau, sang Pemimpin dengan gagahnya mencoba meniru pemecahan ala Raja Pertama negeri ini. Dekrit Presiden, dengan ini Parlemen saya bubarin.... Entah karena kurang Charming di mata rakyat, atau kurang wibawa di mata Parlemen, dekrit itu ditertawakan di Parlemen. Enak aja dekrit, sudah keluar uang berapa kami untuk dapat jatah kursi empuk ini, kita bales.... Raja kita berhentikan!!! Horee....
Entah merasa salah atau merasa kurang dukungan terutama dari korps baju hijau, ya iyalah orang Panglimanya juga mau dipecat kok, Pak Presiden pamit mundur dari Istana. Alasannya, mau berobat dulu ah ke luar negeri. Ya sudah, begitu saja petualangannya menjadi pemimpin di negara ini. Agak-agak ngenes juga sih, mana adegan perpisahannya juga pake celana pendek di Istana, terus keluar ke lapangan dan pidato perpisahan di lapangan depan dengan beberapa Fans-nya. Sedih buat yang pro Pak Ustadz tapi menggembirakan buat yang gak suka, dan jumlah yang gak suka ini, terus terang, juga tidak sedikit. That’s all about Him folks, cukup dua tahun saja.

Tidak ada komentar: