Label

Rabu, 06 Agustus 2008

NEGARAKU DI MATAKU


PEMIMPIN-PEMIMPIN ANEH DI NEGARA ANEH
Indonesia, 2008

Akhirnya aku terpaksa menulis lagi. Waktu yang menggelinding tak terasa sudah mendorongku semakin mendekati batas akhir umur manusia. Hal ini membuatku agak panik. Wah, jangan-jangan tidak ada sesuatu yang berarti untuk ditinggalkan yang membuatku dapat diingat selama mungkin. Memang enak menjadi orang besar yang terkenal, mungkin seperti Galileo, Da Vinci, Hitler juga tak apa. Yah untuk negeri ini mungkin sekelas Soekarno atau Soeharto cukup memadai. Mereka banyak yang mengingat, baik sisi baik ataupun sisi buruk. Apapun..., mereka tetap diingat.
Kenyataannya, sampai saat ini aku tidak juga terkenal. Aku mulai berpikir jangan-jangan memang aku tidak punya takdir untuk terkenal. Mungkin karena aku terlalu penakut atau mungkin memang kurang bakat? Atau malas? Ah entahlah, yang jelas seperti inilah aku, biasa-biasa saja. Sekedar menjadi penduduk yang tidak sering melanggar hukum, baik hukum negara ataupun adat. Entah kalau hukum agama, rasanya cukup sering aku melanggarnya walau tanpa keinginan untuk berbuat dosa.
Untuk itulah mungkin aku ingin menulis. Apa sajalah yang tertulis. Karena tulisan, kalau tersimpan baik, akan berumur jauh lebih panjang dari umur manusia manapun. Jadi setidaknya satu atau dua orang yang kelak membaca tulisan ini akan tahu bahwa pernah hidup seorang “aku” yang menulis kalimat-kalimat ini. Mungkin anak atau cucuku sendiri, siapa saja, yang penting mereka dapat aku rayu untuk selalu mengingatku, walau badanku sudah lama lumat di dalam tanah. Tolong kenali dan kenang aku. Biarlah prakatanya agak-agak meniru siapa itu...? Max Havelaar atau siapa ya, aku lupa lagi.

PEMIMPIN KETIGA

Alkisah, di negeri aneh bin ajaib yang bernama Indonesia ini, setelah sekian lama diperintah dua orang Presiden yang sosoknya mirip-mirip raja, akhirnya masuk juga ke masa-masa berdemokrasi. Kenal istilah itu? Pasti kenal, tapi kalau memahami dan menghayati itu persoalan lain. Alkisah Raja pertama, seorang pemimpi, dijatuhkan oleh Raja kedua. Korbannya adalah beberapa orang tentara dan jutaan rakyat jelata. Lalu sang Raja kedua kalah dengan umur yang telah mengikis semangat berkuasanya. Diserahkanlah tahta kepada sang wakil melalui korban beberapa ratus nyawa rakyat jelata lagi. Dan sang wakil, yang sudah tidak memiliki pamor seorang Raja, marak menjadi Presiden. Jadilah sang wakil, seorang jenius dengan semangat berbicara yang berapi-api, seorang teknokrat aliran Jerman, tiba-tiba terbangun dari mimpi dalam kondisi terduduk di tahta tertinggi Republik ini.
Nah, sekarang di negeri ini kita bebas bicara. Mari kita kutuk sepuas-puasnya si pemimpin dan tentara, tidak usah takut seperti dulu lagi. Tidak ada lagi ancaman untuk proteswan dan proteswati. Semua boleh, mungkin saja seperti di Jerman sana. Tapi tunggu dulu..., sang Presiden juga bebas untuk tampak lemah, bodoh dan culas, tidak harus tampil dengan kesan sempurna walau jelas sama saja punya kelemahan, kebodohan dan keculasan juga, seperti yang Presiden sudah-sudah. Di satu sisi, inilah kemerdekaan bagi seluruh orang, di sisi yang lain situasi semakin kacau. Maklum, ribuan tahun bangsaku ini tidak tahu ataupun mengenal mahluk apa sih demokrasi itu? Jadi yang namanya demokrasi ya begini ini. Demokrasi ala peduli amat.
Proteswan dan proteswati bertambah semangat, beberapa orang mati waktu asyik-asyiknya berdemo. “Hah...! Berani-beraninya tentara bunuh rakyat...!”Bentak kaum pemprotes, ”Darah kawan kami cuma membuat kami bertambah marah saja. Tidak ada lagi takut.” Teriak mereka dengan gagahnya. Tapi itu sekarang..., bukan sepuluh atau duapuluh tahun yang lalu ketika Raja Kedua masih kokoh bertahta. Waktu itu adakah keberanian itu? Tidak ada. Dan aku, sekali lagi, cuma jadi penonton. Dulu, aku terlalu takut. Sekarang, apalagi yang harus diteriakkan? Segalanya sudah selesai, tiada lagi musuh bersama. Aku merasa kehilangan Raja kedua.... Sekarang semua orang adalah demonstran. Jadi apalagi istimewanya? Aku juga mulai bosan dengan mereka. Saat ini lebih penting kalau kita harus dapat bertahan hidup.
Kembali ke sang Raja. Di atas kursi yang sejak dahulu menjadi idaman banyak orang di Republik ini sang Presiden ibarat menjadi bulan-bulanan. Secara intelektual bolehlah, tetapi secara kekuatan politis? Terkadang aku merasa apa masih ada Presiden di negara kacau balau ini.
Akhirnya sang Raja ketiga dikalahkan oleh wakilwan dan wakilwati rakyat, setidaknya itulah klaim sebutan untuk mereka yang dibuat oleh mereka sendiri, entah yang namanya rakyat merasa terwakili oleh mereka atau tidak. Pertanggungjawabannya ditolak, nasib yang mirip-mirip dengan Nawaksara sang raja pertama. Hanya saja sang Raja nomer tiga ini masih bisa bebas jalan-jalan ke negara tercintanya yang lain, Deutch uber alles. Rakyat sudah tidak peduli, tidak ada dendam, nothing personal. Yang penting di mata rakyat adalah : siapa lagi yang akan kita jatuhkan berikutnya.
Selama huru-hara dan hore-hore ini berjalan dengan meriahnya di negeri tercinta ini, selama itu pula aku mencari-cari pekerjaan kian kemari. Aku kan sarjana, setelah lulus ya harus bekerja. Sialnya aku lulus dalam kondisi ekonomi negara yang sedang sakit keras. Satu-satu perusahaan bangkrut dan tutup. Jangankan aku yang baru lulus –mungkin terlalu lama memang aku kuliah, sepuluh tahun- sedangkan orang lain yang sudah enak-enak kerjapun diberhentikan secara massal. Ah, nasib menggiring aku untuk cuma bisa jadi petani kecil. Kalau dipikir lagi, sampai sekarang aku masih kesal pada Raja nomor Dua itu. Gara-gara dia aku jadi susah seperti itu. Enak saja dia dengan mengatas-namakan negara menghutang kiri-kanan. Giliran bayar...? Kami yang harus membayar. Sialan.

Tidak ada komentar: