Label

Sabtu, 23 Juli 2011

bumi sudah tua (3)

Tidak hanya individu, antar negarapun demikian. Negara besar kita yang tercinta, Indonesia, saat ini juga sedang menjadi The Big Looser. Tekanan dari negara lain semakin terasa dalam kehidupan sehari-hari masyarakat. Bahkan seorang pemimpin negara Indonesia, dan juga beberapa negara kalah lainnya, harus melalui persetujuan (tanpa bukti nyata tentunya) sebuah atau sekelompok negara adidaya. Contohnya adalah pemimpin kita sekarang, seorang Jenderal bintang tiga, seorang ahli di bidang sosial politik, konon pula seorang ilmuwan pula dengan disandangnya gelar S3 (doktor) di bidang pertanian, nyata-nyata tidak berdaya dalam persaingan militer perbatasan dengan negara tetangga, tidak berdaya untuk memperjuangkan hak-hak warganya yang disiksa di luar negeri, segala hal yang menyangkut harga diri bangsa sirna, hilang. Sebuah ketidak-berdayaan atau memang tidak ada dalam pikiran sang pemimpin? Hanya Tuhan, sang pemimpin dan istrinya sendiri yang tahu.

Sulit dibayangkan bahwa negara besar kita, pemilik garis pantai terpanjang di dunia, harus menjadi negara pengimpor garam di bawah pimpinan beliau. Negara subur yang memiliki gunung berapi terbanyak (banyaknya gunung berapi jelas mengakibatkan banyaknya tanah subur di kakinya) harus mengimpor beras dan kedelai yang merupakan makanan pokok kita sejak jaman Atlantis sampai sekarang. Sebuah negara yang katanya agraris harus mengimpor cabai karena tidak mampu memenuhi kebutuhan akan sambal bagi lidah rakyatnya. Negara yang berlumpur ini sekarang bahkan harus mengimpor ikan lele. Dan dari manakah semua itu kita impor? Kebanyakan dari negara yang lebih kecil ataupun dari negara yang kurang subur dibandingkan Indonesia tercinta ini. Negara yang tenaga kerjanya lebih sedikit dibandingkan jumlah rakyat kita.

Dan inilah hasil karya sang Doktor Pertanian yang kini memimpin negara kita. Petani sepertinya dilarang untung besar, jika harga naik maka pemerintah buru-buru mengeluarkan kebijakan impor bahkan untuk hal yang tidak menyangkut kebutuhan utama seperti kasus cabai rawit dan cabai merah. Padahal tidak akan ada rakyat yang mati karena tidak makan cabai. Intinya, jangan sampai rakyat Indonesia tertarik untuk memproduksi, baik komoditas pertanian atau produk apapun. Cukup menjadi pembeli saja. Kalau tak ada uang untuk membeli maka tukarlah dengan tanah yang kalian miliki, kalau bisa tanah yang mengandung tembaga, emas atau mineral-mineral lain.

Dunia sudah beranjak tua, penduduk sudah semakin banyak, kemajuan teknologi informasi semakin pesat, membuat dunia yang sudah sempit menjadi semakin sempit. Dahulu orang yang kalah akan terpinggirkan dan akan mengais kesempatan di tempat lain. Tetapi sekarang? Di tempat barupun persaingan sudah ketat. Hadirnya seorang pendatang baru di tempat yang baru akan disambut dengan kewaspadaan penghuni lama, karena itu berarti juga merebut kesempatan bersaing untuk pribumi. Jadi nowhere to run, tidak ada tempat yang cukup luang bagi masing-masing kita. Semua tempat sudah penuh. Terjepit di satu tempat akan terjepit pula di tempat lain, hanya satu dua individu yang beruntung dapat lolos, sementara jutaan lain semakin terpuruk.

Apa yang harus kaum tersisih ini lakukan? Mungkin mereka, atau kita, hanya dapat berharap dari satu keajaiban. Atau berkumpul membentuk satu kelompok yang memiliki kesamaan nasib, dengan alasan kesamaan ketertarikan (atau hobby), lalu muncul ke permukaan. Dan untuk dapat dikenal, masing-masing kelompok juga harus bersaing. Persaingan antar kelompok ini terkadang tidak berjalan secara sportif dan legal. Kelompok-kelompok ini dipimpin oleh Warlord-warlord yang dengan tegas mengibarkan bendera permusuhan dengan kelompok saingannya. Lahan untuk bersaingpun bukan sekedar tim sepakbola, dapat saja berupa kelompok supporternya, kelompok bermotor, kelompok penggemar musik, kelompok keagamaan, kelompok politik, kelompok kedaerahan dan lain sebagainya. Intinya, pesaing adalah pihak atau kelompok lain yang harus ditundukkan kalau perlu dimusnahkan. Menyerang atau diserang.

Bumi sudah semakin tua, manusia sudah semakin banyak. Gesekan antar individu, antar kelompok dan antar negara juga semakin sering terjadi. Gesekan ini dapat menghasilkan perkenalan dan peluang, juga dapat menghasilkan pertengkaran dan perkelahian. Dengan sesama individu kita masih dapat mengharapkan niat baik ataupun pertolongan, tetapi dalam hubungan antar negara hal itu nyaris tidak ada. Tidak ada satu negarapun yang akan secara tulus dan tanpa kepentingan akan membantu negara lain. Selalu ada imbalan yang diharapkan. Dan imbalannya adalah akses atas aset-aset berharga negara yang dibantu. Baik berupa pangsa pasar ataupun sumber daya alamnya.

bumi sudah tua (2)

Kondisi yang tidak jauh berbeda juga terlihat di negara besar yang menjadi negara tempat kita hardolin (dahar, modol dan ulin) ini, Indonesia yang diucapkan dengan Endonesia (Lalu kenapa India tidak menjadi Endia, Indocina menjadi Endocina ataupun Italia menjadi Etalia? Betul-betul suatu misteri....). Keseharian kita semakin diisi dengan cerita kekerasan massal antar kelompok, baik yang berseragam agama, geng motor, geng mobil, ras bahkan sekedar tempat sekolah. Yang penting karena tempat gaul kalian berbeda maka kalian potensial menjadi musuh kami. Jadi tidak ada salahnya kalau kami serang kalian, karena mungkin saja kalian yang akan menyerang kami terlebih dahulu. Betapa negara ini telah menjadi tempat yang menyenangkan untuk mereka-mereka yang bergerak di bidang media pemberitaan. Ingat, bad news is a good news adalah prinsip utama dalam pemberitaan. Tak peduli dampak apa yang akan timbul sebagai akibat dari pemberitaan tersebut.

Contoh terakhir yang populer adalah kasus penyerangan Jamaah Ahmadiyah. Telah puluhan tahun mereka menetap di negara ini, dengan jumlah yang begitu-begitu juga, artinya secara penyebaran tidak mendapat sambutan yang berarti dari masyarakat Indonesia. Berbaur dengan masyarakat yang ber-Bhinneka Tunggal Ika. Tiba-tiba saat ini hal yang menyangkut pembubaran kelompok ini menjadi suatu komoditas issue yang menyenangkan bagi beberapa kelompok untuk dijadikan lahan unjuk eksistensi. Bahkan pada beberapa kejadian, unjuk eksistensi ini sangatlah berlebihan, sampai-sampai mengakibatkan meninggalnya beberapa warga negara kita sendiri. Lebih mengenaskan lagi kematian ini disambut oleh sorak sorai para pelakunya, yang jumlahnya mencapai puluhan bahkan ratusan. Dan inilah wajah eksistensi yang sekarang menjadi trend, eksistensi suatu kelompok yang seringkali diikuti kecemasan ataupun ketakutan di pihak lain.

Dari berbagai kejadian di atas, muncul pertanyaan, apa sebenarnya akar permasalahan yang menimbulkan banyaknya gejolak sosial tersebut. Apakah sekedar ketidak-adilan? Ataukah penerapan hukum yang tidak tegas? Atau dan banyak atau lainnya? Saya memandang akar dari gejolak tersebut adalah menipisnya kesempatan masing-masing individu untuk dapat menunjukkan eksistensi. Bertambah banyaknya jumlah penduduk bumi secara nyata menimbulkan tingkat persaingan yang semakin tinggi. Hal ini secara langsung mengakibatkan banyak di antara kita, penduduk bumi, yang tersingkir dari persaingan dan kemudian hanya dapat menjadi penonton.

Menjadi penonton berarti juga menipisnya kesempatan mengais peluang untuk menghasilkan nafkah, untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Sementara bagi yang beruntung untuk ikut bermain, jumlah manusia yang semakin banyak berarti juga semakin besar pangsa pasar produk yang mereka hasilkan, alias penghasilan yang semakin besar untuk mereka. Hal yang muncul kemudian adalah, bukan hanya masalah isi perut, tetapi juga kebanggaan pribadi yang semakin menipis, dengan kata lain tidak ada ruang untuk menunjukkan eksistensi, memiliki kebanggaan. Kebanggaan di dalam dunia yang semakin mendewakan materi adalah berupa barang maupun gaya hidup. Bagi yang tidak sempat bekerja secara reguler, bagi yang tidak menghasilkan uang dalam jumlah yang berlebih, adalah looser, kaum yang kalah.

bumi sudah tua (1)

Berbagai kejadian akhir-akhir ini mengisi berita di keseharian kita, nasional maupun internasional. Berita internasional yang cukup meresahkan antara lain adalah rentetan penggulingan rezim penguasa nun jauh di wilayah semenanjung Afrika sampai Arab. Umumnya dipicu oleh terlalu lamanya seorang pemimpin berkuasa, diawali dengan penggulingan penguasa Tunisia Ben Ali (jangan dianggap sebagai nama grup Band ataupun judul film Hollywood seperti Ben Hur) yang kemudian merembet ke arah Mesir dengan pemimpinnya Hosni Mubarak (padahal mubarak mupipis kan terserah dia sendiri lah). Saat ini semangat penggulingan penguasa menular ke negara-negara tetangga mereka seperti Libya (dari grup vokal Libya-Imaniar), Maroko (hal yang sudah diperingatkan oleh pemerintah, karena Maroko dapat menyebabkan impotensi, gangguan jantung dan paru-paru) dan negara lain-lain.

Semua gerakan tersebut didasari oleh ketidak-puasan sebagian besar rakyat atas ketimpangan yang tajam, di bidang ekonomi maupun sosial, yang mereka alami dibandingkan sebagian kecil kelompok yang lebih beruntung dalam penghidupannya. Kondisi ini ditambah-tambahi pula oleh perlakuan aparat hukum yang jauh berbeda antara, istilah klasiknya, si kaya dan si miskin. Kalau anda tak punya uang dan dianggap bersalah maka hukum akan menyalak tegas, tetapi bila anda punya uang walaupun ketahuan bersalah ya bisa nego lah. Kesama-rataan di muka hukum, secara nyaris merata di seluruh dunia, adalah dongeng belaka. Karena itu celakalah hai kau orang-orang yang tak ber-uang.

Sesungguhnya kondisi ini telah tersebar merata di seluruh permukaan bumi, Eropa, Asia, Amerika, Australia , Afrika dan wilayah-wilayah lain. Bukan hanya di daerah Timur Tengah (kalau dari negara kita mungkin lebih cocok disebut Barat Tengah alias BeTe) sebagaimana contoh di atas. Hanya saja di wilayah lain emosi rakyat sedikit terselamatkan dengan adanya katup pengaman berupa pergantian pemimpin secara berkala, seperti Pilpres di Indonesia yang setiap 5 tahun sekali. Jadi mata dan telinga rakyat tidak terlalu jenuh untuk melihat dan mendengar wajah dan nama yang sama selama puluhan tahun (kitapun pernah akrab selama puluhan tahun dengan nama-nama Presiden Sukarno dan Presiden Suharto). Tetapi pada dasarnya semua pergantian pemimpin itu tidak banyak merubah penghidupan sehari-hari mayoritas rakyat. Pokoknya “Nu ngampar, ngampar... nu nabeuh, nabeuh. Nu Lapar, lapar... nu seubeuh, seubeuh....”, semua persis sama seperti pemimpin sebelumnya.

Jumat, 15 Juli 2011

Gajah Mada?.... :-) 3

Setelah berhasil menghalangi penyatuan "Rama" Sri Baduga Maharaja dan "Ratu" Hayam Wuruk yang ditandai dengan matinya Citraresmi berupa Pitaloka/ Pataka, maka Hajj Al Ahmad terus membangkitkan semangatnya dalam menyebarkan ajarannya. Cita-citanya tidak lagi terbatas pada wilayah Jawa saja, melainkan untuk menyebar ke seluruh wilayah Nusantara. Ini dituangkan dalam suatu statement yang dikenal sebagai "Sumpah Al Mukhti wal Affah" yang artinya adalah berani untuk menjauhi hal-hal yang haram.

Dalam lidah pribumi statement "Al Mukhti wal Affah" kemudian dikenal sebagai sumpah "Amukti Palapa". Sumpah Palapa adalah suatu pernyataan/ sumpah yang dikemukakan oleh Hajj Al Ahmad/ Gajah Mada pada upacara pengangkatannya menjadi Patih Amangkubhumi Majapahit, tahun 1258 Saka (1336 M).

Sumpah Palapa ini ditemukan pada teks Jawa Pertengahan Pararaton, yang berbunyi,

"Sira Gajah Madapatih Amangkubhumi tan ayun amuktia palapa, sira Gajah Mada: Lamun huwus kalah nusantara isun amukti palapa, lamun kalah ring Gurun, ring Seran, Tañjung Pura, ring Haru, ring Pahang, Dompo, ring Bali, Sunda, Palembang, Tumasik, samana isun amukti palapa."

Terjemahannya,

"Beliau Gajah Mada Patih Amangkubumi tidak ingin melepaskan puasa. Ia Gajah Mada, Jika telah mengalahkan Nusantara, saya (baru akan) melepaskan puasa. Jika mengalahkan Gurun, Seram, Tanjung Pura, Haru, Pahang, Dompo, Bali, Sunda, Palembang, Tumasik, demikianlah saya (baru akan) melepaskan puasa."

Maka sejak itu haluan kerajaan Nusantara dalam sosok kerajaan Majapahit mulai berubah. Untuk sesaat perubahan ini memberikan kebesaran yang ditandai dengan ekspedisi-ekspedisi ekspansi pada seluruh wilayah. Tetapi tanpa dasar yang kukuh maka pada akhirnya kebesaran yang cenderung bersifat "one man show" mulai runtuh setelah Hayam Wuruk meninggal. Setelah meninggalnya sang raja, Hajj Al Ahmad yang mungkin merasa terancam setelah kehilangan pelindungnya diam-diam menghilang. Dalam kitab-kitab hal ini digambarkan secara sopan dengan kata "Moksa".

Dan akhir kisah, Sirna Hilang Kerta ning Bumi (1400 Saka atau 1478 Masehi), berakhirlah riwayat salah satu kerajaan terbesar yang pernah ada di Nusantara.

Salam....

Gajah Mada?.... :-) 2

Dalam kitab Kidung Sunda diceritakan bahwa sang Pitaloka atau Citraresmi ini akhirnya memilih untuk bunuh diri. Dengan kata lain budaya yang sudah turun temurun dilakukan mati dengan sendirinya.


Gajah Mada yang dimaki-maki oleh utusan Sunda (bait 1. 66b – 1. 68 a.)

"Ih angapa, Gajah Mada, agung wuwusmu i kami, ngong iki mangkw angaturana sira sang rajaputri, adulurana bakti, mangkana rakwa karěpmu, pada lan Nusantara dede Sunda iki, durung-durung ngong iki andap ring yuda.
Abasa lali po kita nguni duk kita aněkani jurit, amrang pradesa ring gunung, ěnti ramening yuda, wong Sunda kagingsir, wong Jipang amburu, praptâpatih Sunda apulih, rusak wadwamu gingsir.
Mantrimu kalih tinigas anama Lěs Beleteng angěmasi, bubar wadwamu malayu, anânibani jurang, amurug-murug rwi, lwir patining lutung, uwak setan pating burěngik, padâmalakw ing urip.
Mangke agung kokohanmu, uwabmu lwir ntuting gasir, kaya purisya tinilar ing asu, mengkene kaharěpta, tan pracura juti, ndi sasana tinutmu gurwaning dustârusuh, dadi angapusi sang sadubudi, patitânêng niraya atmamu těmbe yen antu.
"

Alihbahasa:

Wahai Gajah Mada, apa maksudnya engkau bermulut besar terhadap kami? Kita ini sekarang ingin membawa Tuan Putri, sementara engkau menginginkan kami harus membawa bakti? Sama seperti dari Nusantara. Kita lain, kita orang Sunda, belum pernah kami kalah berperang.
Seakan-akan lupa engkau dahulu kala, ketika engkau berperang, bertempur di daerah-daerah pegunungan. Sungguh dahsyat peperangannya, diburu orang Jipang. Kemudian patih Sunda datang kembali dan bala tentaramu mundur.
Kedua mantrimu yang bernama Lěs dan Beleteng diparang dan mati. Pasukanmu bubar dan melarikan diri. Ada yang jatuh di jurang dan terkena duri-duri. Mereka mati bagaikan kera, siamang dan setan. Di mana-mana mereka merengek-rengek minta tetap hidup.
Sekarang, besar juga kata-katamu. Bau mulutmu seperti kentut jangkrik, seperti tahi anjing. Sekarang maumu itu tidak sopan dan berkhianat. Ajaran apa yang kau ikuti selain engkau ingin menjadi guru yang berdusta dan berbuat buruk. Menipu orang berbudi syahdu. Jiwamu akan jatuh ke neraka, jika mati!


Ditegaskan pada bait terakhir adalah "Ajaran apa yang kau ikuti?" sangat mencolok bahwa perdebatan antara utusan Sunda dengan Gajag Mada adalah mengenai "Ajaran". Sedangkan kalimat di atasnya, yaitu "Bertempur di daerah-daerah pegunungan" sangat menggambarkan daerah asal dari Gajah mada atau Hajj Al Ahmad tersebut.

Prabu Hayam Wuruk yang meratapi Putri Sunda yang telah tewas (bait 3.29 – 3. 33)

"Sireñanira tinañan, unggwani sang rajaputri, tinuduhakěn aneng made sira wontěn aguling, mara sri narapati, katěmu sira akukub, perěmas natar ijo, ingungkabakěn tumuli, kagyat sang nata dadi atěmah laywan.
Wěněsning muka angraras, netra duměling sadidik, kang lati angrawit katon, kengisning waja amanis, anrang rumning srigading, kadi anapa pukulun, ngke pangeran marěka, tinghal kamanda punyaningsun pukulun, mangke prapta angajawa.
Sang tan sah aneng swacita, ning rama rena inisti, marmaning parěng prapta kongang mangkw atěmah kayêki, yan si prapta kang wingi, bangiwen pangeraningsun, pilih kari agěsang, kawula mangke pinanggih, lah palalun, pangdaning Widy angawasa.
Palar-palarěn ing jěmah, pangeran sida kapanggih, asisihan eng paturon, tan kalangan ing duskrěti, sida kâptining rawit, mwang rena kalih katuju, lwir mangkana panapanira sang uwus alalis, sang sinambrama lěnglěng amrati cita.
Sangsaya lara kagagat, pětěng rasanikang ati, kapati sira sang katong, kang tangis mangkin gumirih, lwir guruh ing katrini, matag paněděng ing santun, awor swaraning kumbang, tangising wong lanang istri, arěrěb-rěrěb pawraning gělung lukar.
"

Alihbahasa:

"Maka ditanyalah dayang-dayang di manakah gerangan tempat Tuan Putri. Diberilah tahu berada di tengah ia, tidur. Maka datanglah Sri Baginda, dan melihatnya tertutup kain berwarna hijau keemasan di atas tanah. Setelah dibuka, terkejutlah sang Prabu karena sudah menjadi mayat.
Pucat mukanya mempesona, matanya sedikit membuka, bibirnya indah dilihat, gigi-giginya yang tak tertutup terlihat manis, seakan menyaingi keindahan sri gading. Seakan-akan ia menyapa: “Sri Paduka, datanglah ke mari. Lihatlah kekasihnda (?), berbakti, Sri Baginda, datang ke tanah Jawa.
Yang senantiasa berada di pikiran ayah dan ibu, yang sangat mendambakannya, itulah alasannya mereka ikut datang. Sekarang jadinya malah seperti ini. Jika datang kemarin dulu, wahai Rajaku, mungkin masih hidup dan sekarang dinikahkan. Aduh sungguh kejamlah kuasa Tuhan!
Mari kita harap wahai Raja, supaya berhasil menikah, berdampingan di atas ranjang tanpa dihalang-halangi niat buruk. Berhasillah kemauan bapak dan ibu, keduanya.” Seakan-akan begitulah ia yang telah tewas menyapanya. Sedangkan yang disapa menjadi bingung dan merana.
Semakin lama semakin sakit rasa penderitaannya. Hatinya terasa gelap, beliau sang Raja semakin merana. Tangisnya semakin keras, bagaikan guruh di bulan Ketiga*, yang membuka kelopak bunga untuk mekar, bercampur dengan suara kumbang. Begitulah tangis para pria dan wanita, rambut-rambut yang lepas terurai bagaikan kabut.
"

Dalam bait di atas digambarkan penyesalan mendalam Hayam Wuruk yang mengabaikan budaya Nusantara dengan tidak memperdulikan pentingnya penyatuan "Rama" dan "Ratu" dalam keberlangsungan kehidupan Kerajaan Majapahit. Tampak dalam kata-kata "Supaya berhasil menikah, berdampingan di atas ranjang tanpa dihalang-halangi niat buruk. Berhasillah kemauan bapak dan ibu, keduanya."

Kamis, 14 Juli 2011

Gajah Mada?.... :-) 1

Tertulis dalam kitab Negarakertagama :
"Konon kabarnya para pendeta penganut Sang Sugata dalam perjalanan mengemban perintah Sri Baginda, dilarang menginjak tanah sebelah barat pulau Jawa. Karena penghuninya bukan penganut ajaran Buda."
Hal ini saya pahami bahwa daerah yang kini dikenal sebagai tanah Sunda adalah wilayah yang masih menganut agama asli Nusantara (bukan Buda, agama yang berasal dari luar Nusantara).

Majapahit, sebagai suatu kerajaan pewaris kerajaan Nusantara dimana rajanya dapat berasal dari suku manapun di Nusantara, masih membutuhkan pemberian "restu" dari pemegang kuasa Ibu Pertiwi. Kerajaan Nusantara yang dikenal sebelum Majapahit adalah Mataram Lama dan Sriwijaya.Maka hal ini sesuai dengan konsep tiga pusat kekuasaan dalam filosofi Nusantara yaitu Rsi, Rama dan Ratu. Hal yang sama dapat dilihat dalam contoh bahwa Penguasa Eropa pada abad pertengahan membutuhkan restu dari Paus di Vatican agar kekuasannya sah.

Pengesahan yang dilaksanakan oleh seorang "Rama" di tanah Sunda (yang belum tentu juga seseorang dari suku Sunda) diberikan dengan pemberian sebuah Pataka/ Pitaloka, dapat juga disebut sebagai Citraresmi yang merupakan tanda "resmi"nya seseorang menyandang "citra" atau status Raja Nusantara (Majapahit).

Alkisah pada tahun 1336, seorang asing (mungkin berasal Timur Tengah, Asia Selatan ataupun Cina) bernama Hajj Al Ahmad di tengah pengembaraannya di tanah Jawa berhasil mengabdi dan menunjukkan jasanya terhadap penguasa setempat. Atas ilmu pengetahuan yang dimiliki, keterbukaan budaya dalam menerima pendatang, dan juga sebagai penghargaan atas jasa-jasa tersebut Hajj Al Ahmad ditunjuk untuk menduduki salah satu jabatan puncak yang dimungkinkan, yaitu seorang Mahapatih di Kerajaan Agung Majapahit.

Mahapatih Hajj Al Ahmad bertugas mendampingi sang Raja Majapahit yang saat itu dijabat oleh Hayam Wuruk. Hayam Wuruk merupakan Raja Majapahit yang berasal dari bagian barat pulau Jawa, sebab nama Hayam adalah bahasa dari tanah Jawa bagian barat. Perlu diingat bahwa bahasa lokal untuk "Hayam" adalah "Pithik" yang artinya adalah ayam yang masih kecil. Sementara Hajj Al Ahmad sendiri, sesuai dengan postur tubuhnya yang tinggi, besar dan berhidung mancung kemudian dikenal sebagai "Gajah" Mada (juga sebagai plesetan lidah lokal dari nama Hajj Al Ahmad).

Pada suatu saat di tahun 1357, saat akan dilakukannya pengukuhan Hayam Wuruk sebagai Raja Majapahit, Hajj Al Ahmad sebagai seorang pendatang dengan latar belakang pemahaman yang berbeda berusaha untuk mengubah keyakinan Hayam Wuruk. Proses perubahan ini menjadi pertentangan bathin sang Raja dan dalam beberapa kitab digambarkan sebagai Perang Bubat. Ini ditegaskan dengan tidak pernah ada kepastian dimana gerangan "Bubat" itu berada secara fisik. Jadi kemungkinan besar "Perang Bubat" adalah sebuah istilah untuk menggambarkan kegalauan hati Hayam Wuruk yang juga menyangkut nasib Majapahit ke depan.

Seperti diketahui umum "Perang Bubat" ini dimenangkan oleh keyakinan yang ditanamkan oleh pihak Hajj Al Ahmad dan dengan sendirinya membatalkan pemberian Pitaloka sebagai Citraresmi Maharaja Nusantara kepada Hayam Wuruk. Sementara pengaruh "Rama" yang digambarkan sebagai Sri Baduga Maharaja (mungkinkah Baduga berarti orang yang melantik? jadi Sri Baduga Maharaja adalah berati orang yang melantik Maharaja) gagal mempertahankan kepercayaan ataupun tradisi lokal Nusantara.