Label

Sabtu, 23 Juli 2011

bumi sudah tua (3)

Tidak hanya individu, antar negarapun demikian. Negara besar kita yang tercinta, Indonesia, saat ini juga sedang menjadi The Big Looser. Tekanan dari negara lain semakin terasa dalam kehidupan sehari-hari masyarakat. Bahkan seorang pemimpin negara Indonesia, dan juga beberapa negara kalah lainnya, harus melalui persetujuan (tanpa bukti nyata tentunya) sebuah atau sekelompok negara adidaya. Contohnya adalah pemimpin kita sekarang, seorang Jenderal bintang tiga, seorang ahli di bidang sosial politik, konon pula seorang ilmuwan pula dengan disandangnya gelar S3 (doktor) di bidang pertanian, nyata-nyata tidak berdaya dalam persaingan militer perbatasan dengan negara tetangga, tidak berdaya untuk memperjuangkan hak-hak warganya yang disiksa di luar negeri, segala hal yang menyangkut harga diri bangsa sirna, hilang. Sebuah ketidak-berdayaan atau memang tidak ada dalam pikiran sang pemimpin? Hanya Tuhan, sang pemimpin dan istrinya sendiri yang tahu.

Sulit dibayangkan bahwa negara besar kita, pemilik garis pantai terpanjang di dunia, harus menjadi negara pengimpor garam di bawah pimpinan beliau. Negara subur yang memiliki gunung berapi terbanyak (banyaknya gunung berapi jelas mengakibatkan banyaknya tanah subur di kakinya) harus mengimpor beras dan kedelai yang merupakan makanan pokok kita sejak jaman Atlantis sampai sekarang. Sebuah negara yang katanya agraris harus mengimpor cabai karena tidak mampu memenuhi kebutuhan akan sambal bagi lidah rakyatnya. Negara yang berlumpur ini sekarang bahkan harus mengimpor ikan lele. Dan dari manakah semua itu kita impor? Kebanyakan dari negara yang lebih kecil ataupun dari negara yang kurang subur dibandingkan Indonesia tercinta ini. Negara yang tenaga kerjanya lebih sedikit dibandingkan jumlah rakyat kita.

Dan inilah hasil karya sang Doktor Pertanian yang kini memimpin negara kita. Petani sepertinya dilarang untung besar, jika harga naik maka pemerintah buru-buru mengeluarkan kebijakan impor bahkan untuk hal yang tidak menyangkut kebutuhan utama seperti kasus cabai rawit dan cabai merah. Padahal tidak akan ada rakyat yang mati karena tidak makan cabai. Intinya, jangan sampai rakyat Indonesia tertarik untuk memproduksi, baik komoditas pertanian atau produk apapun. Cukup menjadi pembeli saja. Kalau tak ada uang untuk membeli maka tukarlah dengan tanah yang kalian miliki, kalau bisa tanah yang mengandung tembaga, emas atau mineral-mineral lain.

Dunia sudah beranjak tua, penduduk sudah semakin banyak, kemajuan teknologi informasi semakin pesat, membuat dunia yang sudah sempit menjadi semakin sempit. Dahulu orang yang kalah akan terpinggirkan dan akan mengais kesempatan di tempat lain. Tetapi sekarang? Di tempat barupun persaingan sudah ketat. Hadirnya seorang pendatang baru di tempat yang baru akan disambut dengan kewaspadaan penghuni lama, karena itu berarti juga merebut kesempatan bersaing untuk pribumi. Jadi nowhere to run, tidak ada tempat yang cukup luang bagi masing-masing kita. Semua tempat sudah penuh. Terjepit di satu tempat akan terjepit pula di tempat lain, hanya satu dua individu yang beruntung dapat lolos, sementara jutaan lain semakin terpuruk.

Apa yang harus kaum tersisih ini lakukan? Mungkin mereka, atau kita, hanya dapat berharap dari satu keajaiban. Atau berkumpul membentuk satu kelompok yang memiliki kesamaan nasib, dengan alasan kesamaan ketertarikan (atau hobby), lalu muncul ke permukaan. Dan untuk dapat dikenal, masing-masing kelompok juga harus bersaing. Persaingan antar kelompok ini terkadang tidak berjalan secara sportif dan legal. Kelompok-kelompok ini dipimpin oleh Warlord-warlord yang dengan tegas mengibarkan bendera permusuhan dengan kelompok saingannya. Lahan untuk bersaingpun bukan sekedar tim sepakbola, dapat saja berupa kelompok supporternya, kelompok bermotor, kelompok penggemar musik, kelompok keagamaan, kelompok politik, kelompok kedaerahan dan lain sebagainya. Intinya, pesaing adalah pihak atau kelompok lain yang harus ditundukkan kalau perlu dimusnahkan. Menyerang atau diserang.

Bumi sudah semakin tua, manusia sudah semakin banyak. Gesekan antar individu, antar kelompok dan antar negara juga semakin sering terjadi. Gesekan ini dapat menghasilkan perkenalan dan peluang, juga dapat menghasilkan pertengkaran dan perkelahian. Dengan sesama individu kita masih dapat mengharapkan niat baik ataupun pertolongan, tetapi dalam hubungan antar negara hal itu nyaris tidak ada. Tidak ada satu negarapun yang akan secara tulus dan tanpa kepentingan akan membantu negara lain. Selalu ada imbalan yang diharapkan. Dan imbalannya adalah akses atas aset-aset berharga negara yang dibantu. Baik berupa pangsa pasar ataupun sumber daya alamnya.

1 komentar:

Sastrawan Batangan mengatakan...

Sunatullah.... he-he-he
Ok