Label

Sabtu, 23 Juli 2011

bumi sudah tua (2)

Kondisi yang tidak jauh berbeda juga terlihat di negara besar yang menjadi negara tempat kita hardolin (dahar, modol dan ulin) ini, Indonesia yang diucapkan dengan Endonesia (Lalu kenapa India tidak menjadi Endia, Indocina menjadi Endocina ataupun Italia menjadi Etalia? Betul-betul suatu misteri....). Keseharian kita semakin diisi dengan cerita kekerasan massal antar kelompok, baik yang berseragam agama, geng motor, geng mobil, ras bahkan sekedar tempat sekolah. Yang penting karena tempat gaul kalian berbeda maka kalian potensial menjadi musuh kami. Jadi tidak ada salahnya kalau kami serang kalian, karena mungkin saja kalian yang akan menyerang kami terlebih dahulu. Betapa negara ini telah menjadi tempat yang menyenangkan untuk mereka-mereka yang bergerak di bidang media pemberitaan. Ingat, bad news is a good news adalah prinsip utama dalam pemberitaan. Tak peduli dampak apa yang akan timbul sebagai akibat dari pemberitaan tersebut.

Contoh terakhir yang populer adalah kasus penyerangan Jamaah Ahmadiyah. Telah puluhan tahun mereka menetap di negara ini, dengan jumlah yang begitu-begitu juga, artinya secara penyebaran tidak mendapat sambutan yang berarti dari masyarakat Indonesia. Berbaur dengan masyarakat yang ber-Bhinneka Tunggal Ika. Tiba-tiba saat ini hal yang menyangkut pembubaran kelompok ini menjadi suatu komoditas issue yang menyenangkan bagi beberapa kelompok untuk dijadikan lahan unjuk eksistensi. Bahkan pada beberapa kejadian, unjuk eksistensi ini sangatlah berlebihan, sampai-sampai mengakibatkan meninggalnya beberapa warga negara kita sendiri. Lebih mengenaskan lagi kematian ini disambut oleh sorak sorai para pelakunya, yang jumlahnya mencapai puluhan bahkan ratusan. Dan inilah wajah eksistensi yang sekarang menjadi trend, eksistensi suatu kelompok yang seringkali diikuti kecemasan ataupun ketakutan di pihak lain.

Dari berbagai kejadian di atas, muncul pertanyaan, apa sebenarnya akar permasalahan yang menimbulkan banyaknya gejolak sosial tersebut. Apakah sekedar ketidak-adilan? Ataukah penerapan hukum yang tidak tegas? Atau dan banyak atau lainnya? Saya memandang akar dari gejolak tersebut adalah menipisnya kesempatan masing-masing individu untuk dapat menunjukkan eksistensi. Bertambah banyaknya jumlah penduduk bumi secara nyata menimbulkan tingkat persaingan yang semakin tinggi. Hal ini secara langsung mengakibatkan banyak di antara kita, penduduk bumi, yang tersingkir dari persaingan dan kemudian hanya dapat menjadi penonton.

Menjadi penonton berarti juga menipisnya kesempatan mengais peluang untuk menghasilkan nafkah, untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Sementara bagi yang beruntung untuk ikut bermain, jumlah manusia yang semakin banyak berarti juga semakin besar pangsa pasar produk yang mereka hasilkan, alias penghasilan yang semakin besar untuk mereka. Hal yang muncul kemudian adalah, bukan hanya masalah isi perut, tetapi juga kebanggaan pribadi yang semakin menipis, dengan kata lain tidak ada ruang untuk menunjukkan eksistensi, memiliki kebanggaan. Kebanggaan di dalam dunia yang semakin mendewakan materi adalah berupa barang maupun gaya hidup. Bagi yang tidak sempat bekerja secara reguler, bagi yang tidak menghasilkan uang dalam jumlah yang berlebih, adalah looser, kaum yang kalah.

Tidak ada komentar: