Label

Kamis, 14 Juli 2011

Gajah Mada?.... :-) 1

Tertulis dalam kitab Negarakertagama :
"Konon kabarnya para pendeta penganut Sang Sugata dalam perjalanan mengemban perintah Sri Baginda, dilarang menginjak tanah sebelah barat pulau Jawa. Karena penghuninya bukan penganut ajaran Buda."
Hal ini saya pahami bahwa daerah yang kini dikenal sebagai tanah Sunda adalah wilayah yang masih menganut agama asli Nusantara (bukan Buda, agama yang berasal dari luar Nusantara).

Majapahit, sebagai suatu kerajaan pewaris kerajaan Nusantara dimana rajanya dapat berasal dari suku manapun di Nusantara, masih membutuhkan pemberian "restu" dari pemegang kuasa Ibu Pertiwi. Kerajaan Nusantara yang dikenal sebelum Majapahit adalah Mataram Lama dan Sriwijaya.Maka hal ini sesuai dengan konsep tiga pusat kekuasaan dalam filosofi Nusantara yaitu Rsi, Rama dan Ratu. Hal yang sama dapat dilihat dalam contoh bahwa Penguasa Eropa pada abad pertengahan membutuhkan restu dari Paus di Vatican agar kekuasannya sah.

Pengesahan yang dilaksanakan oleh seorang "Rama" di tanah Sunda (yang belum tentu juga seseorang dari suku Sunda) diberikan dengan pemberian sebuah Pataka/ Pitaloka, dapat juga disebut sebagai Citraresmi yang merupakan tanda "resmi"nya seseorang menyandang "citra" atau status Raja Nusantara (Majapahit).

Alkisah pada tahun 1336, seorang asing (mungkin berasal Timur Tengah, Asia Selatan ataupun Cina) bernama Hajj Al Ahmad di tengah pengembaraannya di tanah Jawa berhasil mengabdi dan menunjukkan jasanya terhadap penguasa setempat. Atas ilmu pengetahuan yang dimiliki, keterbukaan budaya dalam menerima pendatang, dan juga sebagai penghargaan atas jasa-jasa tersebut Hajj Al Ahmad ditunjuk untuk menduduki salah satu jabatan puncak yang dimungkinkan, yaitu seorang Mahapatih di Kerajaan Agung Majapahit.

Mahapatih Hajj Al Ahmad bertugas mendampingi sang Raja Majapahit yang saat itu dijabat oleh Hayam Wuruk. Hayam Wuruk merupakan Raja Majapahit yang berasal dari bagian barat pulau Jawa, sebab nama Hayam adalah bahasa dari tanah Jawa bagian barat. Perlu diingat bahwa bahasa lokal untuk "Hayam" adalah "Pithik" yang artinya adalah ayam yang masih kecil. Sementara Hajj Al Ahmad sendiri, sesuai dengan postur tubuhnya yang tinggi, besar dan berhidung mancung kemudian dikenal sebagai "Gajah" Mada (juga sebagai plesetan lidah lokal dari nama Hajj Al Ahmad).

Pada suatu saat di tahun 1357, saat akan dilakukannya pengukuhan Hayam Wuruk sebagai Raja Majapahit, Hajj Al Ahmad sebagai seorang pendatang dengan latar belakang pemahaman yang berbeda berusaha untuk mengubah keyakinan Hayam Wuruk. Proses perubahan ini menjadi pertentangan bathin sang Raja dan dalam beberapa kitab digambarkan sebagai Perang Bubat. Ini ditegaskan dengan tidak pernah ada kepastian dimana gerangan "Bubat" itu berada secara fisik. Jadi kemungkinan besar "Perang Bubat" adalah sebuah istilah untuk menggambarkan kegalauan hati Hayam Wuruk yang juga menyangkut nasib Majapahit ke depan.

Seperti diketahui umum "Perang Bubat" ini dimenangkan oleh keyakinan yang ditanamkan oleh pihak Hajj Al Ahmad dan dengan sendirinya membatalkan pemberian Pitaloka sebagai Citraresmi Maharaja Nusantara kepada Hayam Wuruk. Sementara pengaruh "Rama" yang digambarkan sebagai Sri Baduga Maharaja (mungkinkah Baduga berarti orang yang melantik? jadi Sri Baduga Maharaja adalah berati orang yang melantik Maharaja) gagal mempertahankan kepercayaan ataupun tradisi lokal Nusantara.

Tidak ada komentar: