Label

Selasa, 02 Agustus 2011

Bubarkan KPK, Pak Marzuki?

Minggu ini sekali lagi media membuat keributan di wilayah Indonesia. Ketua DPR Marzuki Alie diberitakan melontarkan kalimat "KPK lebih baik dibubarkan". Entah kalimatnya dipotong-potong atau memang niatnya seperti itu, saya kurang periksa. Yang jelas publik peminat gosip-gosip pemerintahan menjadi terpicu libidonya untuk berkomentar, termasuk saya tentunya.

Hanya saja saya mencoba untuk melihat dari sisi lain, seperti biasa. Sejak awal kiprahnya, KPK sebagai sebuah lembaga Super Body, buat saya adalah sebuah gangguan dalam kondisi negara yang normal. Kenapa menjadi gangguan? ya, karena mahluk KPK ini adalah sebuah lembaga anomali. Pertanda negara ini sedang kehilangan orientasi kenegaraan. Hampir seluruh rakyat kehilangan pemahaman tentang tupoksi lembaga-lembaga negara.

Sekitar 350 tahun yang lalu, Montesquieu (Perancis, 1689-1755), setelah melalui pengamatan sejarah yang panjang berhasil menelurkan teori Trias Politica yang bercerita tentang sebuah pemisahan kekuasaan. Mengapa kekuasaan perlu dipisahkan? Sebab kekuasaan tunggal adalah cenderung absolut dan juga cenderung korup absolut. Dan korbannya tentu saja, seperti umumnya adalah rakyat biasa seperti saya ini, yang bisanya cuma berusaha mencari celah kehidupan di sela-sela kaki kekuasaan.

Eksekutif adalah pemegang jalannya pemerintahan, dipimpin oleh seorang Presiden (Presidensil) ataupun Perdana Menteri (Parlementer). Kelompok inilah yang mempunyai hak dan kewajiban menjalankan birokrasi negara sehari-hari termasuk pengelolaan anggaran negara. Jelas hak dan kekuasaan yang besar ini memiliki kecenderungan untuk menyimpang bila dibiarkan tanpa pengawasan. Dan siapakah yang bisa mengawasi?

Legislatif adalah kumpulan manusia yang didudukkan sebagai wakil dari rakyat. Dan mengapa rakyat harus punya wakil? Oh tentu saja dwooonk. Rakyat harus punya wakil, sebab tidaklah mungkin manusia yang jumlahnya bisa ratusan juta bahkan milyaran ini semua menjadi legislator. Sedangkan kalau keinginan rakyat tidak diakomodir, wah, bisa bahaya situasi negara. Akan hancur berkeping-keping, menjadi kota-kota atau desa-desa merdeka. Dan akhirnya secara alamiah akan sedikit-sedikit bergabung kembali. Dan masalahpun berulang kembali.

Lalu bagaimanakah cara mengorganisir rakyat agar mereka bisa merasa memiliki wakil di Legislatif? Sistem demokrasi menyediakan saluran agar rakyat bisa memilih wakilnya melalui suatu kelompok "terdaftar" yang bernama Partai Politik (Parpol) yang dipilih melalui sebuah acara pemilihan umum. Naasnya saat ini, terutama di Indonesia, Parpol mulai kehilangan legitimasi di mata rakyat. Hal ini berhubungan dengan wewenang Legislatif untuk bekerja-sama dengan Eksekutif untuk bersama-sama membentuk pemerintahan.

Karena serempetan kepentingan itu, maka seringkali seorang Presiden atau Perdana Menteri secara diam-diam atau terang-terangan mengatur posisi dan cara bersuara Parpol di Legislatif. Usaha itu tentu saja dilakukan untuk mendapatkan tempat duduk yang lebih nyaman bagi Pimpinan Eksekutif. Dengan imbalan kenyamanan yang sama untuk sang Legislator tentunya. Dan pada saat yang bersamaan kepentingan rakyat dengan sendirinya tergusur dari pandangan wakilnya sendiri. Nah, hal di atas menjadi sebuah dilema untuk kegiatan bernegara yang berjalan dalam jalur Trias Politica-nya Montesquieu.

Lembaga penting terakhir dalam teori Trias Politica adalah Yudikatif. Fungsi utamanya adalah menjalankan pelaksanaan hukum dalam kehidupan sehari-hari negara. Hukum yang membatasi rakyat dan juga hukum yang
membatasi pemerintah. Ingat dalam semboyan kita adalah "Semua orang berkedudukan sama di muka hukum".

Sayang disayang, sang Yudikator ini mulai mengalami nasib yang sama dengan Legislator, yaitu kehilangan kepercayaan dari mata rakyat Indonesia. Banyaknya kasus hukum yang menyangkut kekuasaan dan uang menyebabkan hukum di Indonesia bersifat "Tajam ke bawah dan tumpul ke atas". Mahluk-mahluk yang bersemayam dalam lingkaran Yudikatif, yaitu Kehakiman dan Kejaksaan, kini tidak lagi dipercaya untuk menangani kasus-kasus tertentu yang bersifat "besar dan menarik perhatian publik".

Untuk mengatasi hal itu, beberapa waktu yang lalu ketiga lembaga tinggi ini membentuk sebuah bangunan baru yang diharapkan "Sakti" dan "Bebas dari kepentingan" selain kepentingan rakyat. Mahluk baru ini kemudian diberi nama Komisi Pemberantasan Korupsi. Sebagai beban, KPK diharapkan dapat menumpas benalu penjarahan dari dalam tubuh pemerintahan, termasuk dalam ketiga lembaga tinggi tadi.

Malangnya kewenangan (khususnya penyidikan dan penyelidikan) lebih KPK ini sedikit banyak tumpang tindih dengan wilayah kerja lembaga lain yang lebih umum ada dan lebih dulu ada, yaitu Kepolisian dan Kejaksaan. karenanya, yang harusnya sudah dapat diprediksi, sebelum dapat maju maka KPK sudah terlebih dahulu berebut lahan dengan Kepolisian dan Kejaksaan. Inilah akibat hobi kita membuat rumah baru di atas rumah yang masih tegak berdiri. Tumpang tindih tanpa orientasi yang jelas.

Akhirnya sekarang mulai down to earth kembali. KPK toh diisi oleh manusia-manusia Indonesia, yang juga memiliki kelemahan dan ketakutan yang sama seperti rekan-rekannya di Kepolisian dan Kejaksaan. Alangkah saktinya kekuatan uang. Mungkin sebagian besar dari kita kalau mati dan ditanyakan oleh Malaikat "Man Robbuka...?" maka jawaban umumnya tegas adalah "Uang!!!".

Kembali sayang disayang, KPK ini sudah terbentuk, dan kita memiliki kelemahan yang sama juga yaitu malu mengakui kesalahan. Oleh karena itu walaupun statement Marzuki Alie menurut saya sudah benar, menjadi sebuah kentut berbau busuk di muka umum. Mungkin karena ide ini, secara jorok dikeluarkan saat anggota partainya sendiri (Demokrat) berurusan dengan hukum. Andaikan usulan ini dikeluarkan saat anggota partai lain (seperti PPP, Golkar, PAN ataupun PDIP) sedang berurusan dengan hukum mungkin esensinya akan lebih tersampaikan dengan elegan.

Jadi kesimpulan saya, anda hanya salah waktu dalam mengungkapkan hal ini Pak Marzuki....

Tidak ada komentar: