
Malam mulai menjelang, kios-kios ikan bakar dalam kesepiannya mulai menyalakan lampu. Jumlah pengunjungpun tak juga bertambah, malah pengunjung lokal yang tidak menginap di daerah itu mulai meninggalkan pantai. Pondok sewaan kami yang berjarak hanya sekitar 25 meter dari bibir air juga mulai diliputi sepi. Untung pondok sewaan di sebelah kiri juga berisi satu keluarga sehingga kami tidak terlalu merasa sendiri. Ibu pemilik pondok dan pedagang ikan bakar dekat pondok dengan setia tetap berjaga di warungnya berharap ada yang membeli, yang tidak lain hanyalah kami saja. Walau terkesan agak cengeng, tapi benar-benar terasa menyedihkan, situasi sepi ini benar-benar diluar dugaan. Karena kami berangkat dari Bandung penuh dengan perhitungan bahwa akan mendapati kepadatan seperti tempat wisata yang pernah kami datangi. Tetapi yang kami dapati adalah sebaliknya.
Ikan bakar, itulah yang kami cari sebagai menu makan malam. Kami mencoba untuk makan di salah satu restoran yang banyak terdapat di sisi jalan dan pantai. Ternyata untuk ukuran kantongku agak terlalu mahal dengan rasa yang biasa saja. Tetapi memang rasa ikan Baronang dapat menyelamatkan lidah, walau dengan cara masak yang biasa saja. Setelah itu kami melanjutkan berjalan-jalan ke kota Palabuhan Ratu untuk melihat pasar Tempat Pelelangan Ikan yang tampaknya adalah sentral keramaian di kota ini. Tempat ini buka sampai jam 10 malam. Perdagangan ikan masih cukup ramai ketika kami datang sekitar jam delapan malam. Berbagai jenis hasil tangkapan laut tampak di TPI ini, mulai ikan yang tidak aku kenal wajahnya sampai Lobster (mereka menawarkan harga Rp 110.000,- per kg yang terdiri atas 4 sampai 5 ekor untuk lobster berukuran kecil sampai sedang). Sayang, aku belum tega untuk membelanjakan uang sebesar itu untuk sekedar membeli pengisi perut. Ah, memang liburan yang irit.
Ternyata di bagian depan pasar ikan tersebut ada sebuah bangunan bertingkat dua, kantor milik PT Pelabuhan Indonesia, yang telah berubah fungsi menjadi tempat makan ikan bakar. Saat masuk kita langsung disambut dengan empat meja milik pedagang yang berisikan berbagai jenis ikan, termasuk si Lobster tadi tapi dengan harga lebih mahal Rp 10.000,-, yang siap kita pilih. Rata-rata harga ikan kelas sedang adalah Rp 30.000,- sampai Rp 35.000,- per kg. Bahkan dapat dicampur beberapa jenis ikan dengan harga yang disamakan. Ongkos memasaknya adalah untuk bakar Rp 15.000,- per kg, sedang untuk masak jenis lain seperti ala saus tiram, asam manis dsb adalah Rp 20.000,- per kg. Jauh berbeda dengan resto-resto pinggir laut yang mencapai Rp 65.000,- per porsi! Setelah itu kita tinggal naik ke tingkat dua, memilih meja sambil menunggu pesanan kita matang. Sambil menunggu kita dapat melihat situasi pelabuhan yang sesak dengan perahu besar dan kecil. Makan di tempat ini menghabiskan biaya kurang lebih Rp 20.000 per orang. Itu juga untuk ukuran makan yang agak berlebihan.
Untuk kali ini perut kami benar-benar termanjakan oleh hidangan ikan bakar. Sebab dengan kesegaran bahan dasar ikannya, maka cara masak seperti apapun dapat menyelamatkan rasa. Apalagi dengan harga yang relatif terjangkau.Hanya saja sebaiknya tidak memesan kepiting di daerah ini, karena ternyata rasanya kurang gurih. Entah kenapa. Mungkin karena kadar garam di air laut Palabuhan Ratu yang relatif rendah, yang berdampak terhadap rasa daging Kepiting. Bukti dari rendahnya kadar garam air laut di tempat ini ada saat kita berenang di laut, pada saat kita keluar maka tubuh tidak terasa terlalu lengket seperti halnya di pantai-pantai lain.